Penghasilan dan harta merupakan dua hal yang identik, namun berbeda dalam konteks perpajakan. Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan atas penghasilan, bukan dikenakan atas harta. Harta sendiri merupakan wujud dari penghasilan, misalnya berupa tabungan, tanah & bangunan, kendaraan, dan sebagainya. Setelah penghasilan diterima, maka penghasilan tersebut dapat berubah menjadi harta atau dapat habis untuk konsumsi. Jika penghasilan tersebut berubah menjadi harta, maka harta tersebut tidak dikenakan pajak, kecuali harta berupa tanah dan bangunan atau kendaraan yang setiap tahunnya dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Pajak atas Kendaraan Bermotor. Namun dalam konteks PPh, harta tersebut bukan merupakan objek pajak.
Penghasilan dan harta dapat menjadi identik, atau dalam kata lain, harta dapat digolongkan sebagai penghasilan ketika terdapat ketidakseimbangan antara kenaikan harta dan jumlah penghasilan Wajib Pajak dalam satu tahun. Sebagai contoh, Wajib Pajak A memiliki kenaikan jumlah harta yang dicatat dalam SPT sebesar 13 dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, penghasilan yang diakui Wajib Pajak A dalam SPT hanya sebesar 10. Hal ini dapat menjadi masuk akal apabila Wajib Pajak A ternyata memiliki hutang sebesar 3 untuk memperoleh harta tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Wajib Pajak A memperoleh tambahan harta tersebut dari penghasilan dan hutang. Apabila tidak terdapat hutang atau penjelasan tertulis lebih lanjut pada SPT dari mana harta tersebut berasal (misal dari hibah atau warisan), maka hal ini dapat menjadi tidak masuk akal di mata pajak. Dalam hal ini, tolok ukur pertambahan harta dapat dilihat dari penghasilan.