Tax isometric concept with tax calculation and payment symbols vector illustration

Perhitungan PPh 21 Pegawai Tetap berdasarkan PP Nomor 58 Tahun 2023

Dalam melakukan perhitungan Pemotongan PPh Pasal 21 saat ini terdapat berbagai skema yang membuat Wajib Pajak bingung dan berusaha untuk melakukan kewajiban perpajakannya dengan benar. Hal tersebut yang melatarbelakangi munculnya PP 58 Tahun 2023 sehubungan dengan perhitungan PPh Pasal 21.

Dasar hukum terbitnya PP tersebut yaitu Pasal 21 ayat 5 Undang-Undang Pajak Penghasilan yang berbunyi “Tarif Pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah”.

Adapun tujuan diterbitkannya PP tersebut yaitu :

  1. Memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak dalam menyederhanakan perhitungan PPh Pasal 21 di setiap Masa Pajak
  2. Meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya
  3. Memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak dalam membangun sistem administrasi perpajakan yang mampu melakukan validasi atas perhitungan Wajib Pajak.

Harapannya, proses bisnis yang efektif, efisien, dan akuntabel dapat terwujud. Berikut contoh perhitunga PPh 21 berdasarkan PP 58 Tahun 2023

Tuan Andi bekerja pada PT Zou. Tuan Andi berstatus menikah dan tidak memiliki tanggungan (K/0). Premi JKK dan JKM per bulan yang dibayar oleh PT Zou untuk Tuan Andi adalah masing-masing sebesar 0,50% dan 0,30% dari komponen gaji Tuan A. Iuran pensiun yang dibayarkan oleh PT Zou untuk Tuan Andi adalah sebesar Rp200.000,00 per bulan sedangkan iuran pensiun yang dibayar sendiri oleh Tuan Andi melalui PT Zou adalah sebesar Rp100.000,00 per bulan. Tuan Andi melakukan pembayaran zakat sebesar Rp200.000,00 per bulan melalui PT Zou kepada Badan Amil Zakat yang disahkan oleh pemerintah. Selama tahun 2024, Tuan Andi menerima atau memperoleh penghasilan dan dipotong PPh Pasal 21 menggunakan tarif efektif bulanan kategori A dengan penghitungan sebagai berikut:

 

bitcoin-pile-top-dolar-bills

Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Penambang Aset Kripto Sehubungan dengan Aset Kripto

Apabila Penambang Aset Kripto menerima penghasilan berupa imbalan jasa yang diterima atau diperoleh Penambang Aset Kripto, termasuk:

  1. penghasilan dari sistem Aset Kripto berupa block reward, imbalan atas jasa pelayanan verifikasi transaksi (transaction fee), atau penghasilan lain dari sistem Aset Kripto; dan/atau
  2. penghasilan lainnya selain penghasilan sebagaimana dimaksud pada poin 1

maka, atas penghasilan yang diterima tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan Pasal 22 dengan tarif sebesar 0, 1 % (nol koma satu persen) dari penghasilan yang diterima atau diperoleh Penambang Aset Kripto, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Pajak Penghasilan ini bersifat final dan wajib disetor sendiri oleh Penambang Aset Kripto.

Seperti perlakuan pajak atas Aset Kripto lainnya, apabila penghasilan tersebut berupa Aset Kripto, maka penghasilan tersebut harus dikonversikan ke dalam mata uang Rupiah berdasarkan nilai Aset Kripto pada saat diterima atau diperoleh, dalam sistem Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang dipilih oleh Penambang Aset Kripto berdasarkan:

  1. nilai yang ditetapkan oleh bursa berjangka yang menyelenggarakan perdagangan Aset Kripto; atau
  2. nilai dalam sistem yang dimiliki oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang dipilih oleh Penambang Aset Kripto,

yang diterapkan secara konsisten.

Lebih lanjut, penghasilan yang diterima atau diperoleh Penambang Aset Kripto dari transaksi Aset Kripto yang dilakukan melalui Sarana Elektronik yang disediakan oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

Busines using a computer to complete Individual income tax return form online for tax payment. Government, state taxes. Data analysis, paperwork, financial research, report. Calculation tax return.

Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Aset Kripto Indonesia

Seperti yang telah di bahas dalam artikel sebelumnya, Penghasilan atas Aset Kripto dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang bersifat Final. Pajak Penghasilan ini dipungut pada saat:

  • pembayaran dari Pembeli Aset Kripto diterima oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik;
  • pelaksanaan tukar menukar Aset Kripto; dan/ atau
  • pembayaran penghasilan lain selain transaksi di atas diterima oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik tersebut wajib membuat Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi atas pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan wajib menyetorkan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang telah dipungut paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 ini dapat dilakukan dengan menggunakan surat setoran pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan surat setoran pajak dan wajib dilaporkan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Dikecualikan dari Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang wajib memungut Pajak Penghasilan Pasal 22, yaitu Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang:

  • hanya memberikan layanan dompet elektronik (e-wallet);
  • hanya mempertemukan Penjual Aset Kripto dan Pembeli Aset Kripto; dan/ atau
  • tidak memfasilitasi transaksi perdagangan Aset Kripto.

Besarnya tarif Pajak Penghasilan Pasal 22 tersebut adalah:

  1. 0,1% dari nilai transaksi Aset Kripto, tidak termasuk PPN dan PPnBM, dalam hal Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik telah memperoleh persetujuan dari pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perdagangan berjangka komoditi; atau
  2. 0,2% dari nilai transaksi Aset Kripto, tidak termasuk PPN dan PPnBM, dalam hal Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik tidak memperoleh persetujuan dari pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perdagangan berjangka komoditi.

Pajak Penghasilan Pasal 22 ini bersifat final dan wajib disetor sendiri oleh Penjual Aset Kripto paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Penjual Aset Kripto yang melakukan penyetoran Pajak Penghasilan dan telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara dianggap telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi sesuai dengan tanggal validasi.

Bitcoins lies with the tax forms, hundred dollar bills and smartphone on a light blue background. Income tax return.

Perlakuan Pajak Penghasilan atas Aset Kripto Indonesia

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Penjual Aset Kripto, Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, atau Penambang Aset Kripto sehubungan dengan Aset Kripto dikenai Pajak Penghasilan. Penghasilan sehubungan dengan transaksi Aset Kripto yang dimaksud meliputi penghasilan dari seluruh jenis transaksi Aset Kripto, berupa:

  1. transaksi dengan pembayaran mata uang fiat;
  2. tukar menukar Aset Kripto dengan Aset Kripto lainnya (swap); dan/ atau
  3. transaksi Aset Kripto selain transaksi sebagaimana dimaksud pada bagian 1 dan bagian 2,

yang dilakukan melalui Sarana Elektronik yang disediakan oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

Penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan Pasal 22 yang bersifat Final dengan tarif sebesar 0,1% dari nilai transaksi Aset Kripto, tidak termasuk PPN dan PPnBM. Apabila Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik tersebut bukan merupakan Pedagang Fisik Aset Kripto, tarif Pajak Penghasilan Pasal 22 menjadi sebesar 0,2% yang bersifat final dari nilai transaksi Aset Kripto.

Nilai transaksi yang dimaksud merupakan:

  1. Nilai uang yang dibayarkan oleh Pembeli Aset Kripto, tidak termasuk PPN dan PPnBM, dalam hal transaksi Aset Kripto dilakukan dengan pembayaran berupa mata uang fiat. Dalam hal nilai uang yang dibayarkan oleh Pembeli Aset Kripto berupa mata uang fiat selain mata uang Rupiah, nilai tersebut harus dikonversikan ke dalam mata uang Rupiah berdasarkan kurs yang ditetapkan oleh Menteri pada tanggal diterimanya pembayaran.
  2. Nilai masing-masing Aset Kripto yang diserahkan oleh para pihak yang bertransaksi, tidak termasuk PPN dan PPnBM, dalam hal transaksi Aset Kripto dilakukan dengan tukar menukar dengan Aset Kripto lainnya. Nilai transaksi sebesar nilai konversi Aset Kripto ke dalam mata uang Rupiah berdasarkan nilai yang ditetapkan oleh bursa berjangka yang menyelenggarakan perdagangan Aset Kripto atau nilai dalam sistem yang dimiliki oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, yang diterapkan secara konsisten.
  3. Jumlah pembayaran yang diterima Penjual Aset Kripto, dalam hal transaksi Aset Kripto merupakan transaksi selain transaksi di atas. Dalam hal penghasilan lain dari transaksi Aset Kripto ini diterima atau diperoleh dalam mata uang selain mata uang Rupiah, maka penghasilan tersebut dikonversikan ke dalam mata uang Rupiah berdasarkan kurs yang ditetapkan oleh Menteri pada tanggal diterima atau diperoleh penghasilan.
income-tax-4097292_1920

Perbedaan Penghasilan dan Harta

Penghasilan dan harta merupakan dua hal yang identik, namun berbeda dalam konteks perpajakan. Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan atas penghasilan, bukan dikenakan atas harta. Harta sendiri merupakan wujud dari penghasilan, misalnya berupa tabungan, tanah & bangunan, kendaraan, dan sebagainya. Setelah penghasilan diterima, maka penghasilan tersebut dapat berubah menjadi harta atau dapat habis untuk konsumsi. Jika penghasilan tersebut berubah menjadi harta, maka harta tersebut tidak dikenakan pajak, kecuali harta berupa tanah dan bangunan atau kendaraan yang setiap tahunnya dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Pajak atas Kendaraan Bermotor. Namun dalam konteks PPh, harta tersebut bukan merupakan objek pajak.

Penghasilan dan harta dapat menjadi identik, atau dalam kata lain, harta dapat digolongkan sebagai penghasilan ketika terdapat ketidakseimbangan antara kenaikan harta dan jumlah penghasilan Wajib Pajak dalam satu tahun. Sebagai contoh, Wajib Pajak A memiliki kenaikan jumlah harta yang dicatat dalam SPT sebesar 13 dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, penghasilan yang diakui Wajib Pajak A dalam SPT hanya sebesar 10. Hal ini dapat menjadi masuk akal apabila Wajib Pajak A ternyata memiliki hutang sebesar 3 untuk memperoleh harta tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Wajib Pajak A memperoleh tambahan harta tersebut dari penghasilan dan hutang. Apabila tidak terdapat hutang atau penjelasan tertulis lebih lanjut pada SPT dari mana harta tersebut berasal (misal dari hibah atau warisan), maka hal ini dapat menjadi tidak masuk akal di mata pajak. Dalam hal ini, tolok ukur pertambahan harta dapat dilihat dari penghasilan.