businessman workig and using calculator with laptop on desk

Pedoman Perhitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Kegiatan Usaha Tertentu

Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (7a) UU PPN diatur bahwa besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu dihitung dengan menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan. Hal ini dimaksudkan dalam rangka memberikan kemudahan dalam menghitung PPN yang harus disetor untuk Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu.

 

Kegiatan Usaha Tertentu

Petunjuk pelaksanaan dari ketentuan di atas adalah PMK Nomor 79/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Kegiatan Usaha Tertentu. Dalam PMK ini diatur bahwa Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu, dalam menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, wajib menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan. Yang dimaksud dengan kegiatan usaha tertentu adalah kegiatan usaha yang semata-mata melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran dan pedagang emas. Namun, untuk pembahasan mengenai pedagang emas sudah dicabut dan saat ini memakai PMK Nomor 30/2014.

 

Tata Cara Penghitungan dan Penyetoran PPN

Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan bagi Pengusaha Kena Pajak di atas dihitung menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan, yaitu sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari Pajak Keluaran, dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran. Pajak Keluaran dimaksud, dihitung dengan cara mengalikan tarif 10% dengan Dasar Pengenaan Pajak. Dasar Pengenaan Pajak-nya adalah peredaran usaha.

 

Sedangkan PPN yang wajib disetor pada setiap Masa Pajak dihitung dengan cara besarnya Pajak Keluaran dikurangi dengan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai pedoman, yaitu sebesar sama dengan 1% (satu persen) dari Dasar Pengenaan Pajak bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran.

 

Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan ini tidak dapat membebankan PPN atas perolehan BKP dan/atau JKP sebagai biaya untuk penghitungan Pajak Penghasilan. Apabila terjadi retur, PPN atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang dikembalikan atau diretur oleh pembeli, mengurangi PPN yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak penjual dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian BKP dan/atau JKP, sepanjang Faktur Pajak atas penyerahan BKP dan/atau JKP tersebut telah dilaporkan dalam SPT Masa PPN.

 

Ketentuan Lain-lain 

Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran wajib menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan menurut ketentuan PMK Nomor 79/PMK.03/2010 ini walaupun Pengusaha Kena Pajak tersebut memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (7) UU PPN dan PMK Nomor 74/PMK.03/2010.

 

Sementara itu, untuk pengusaha emas yang melakukan kegiatan usaha penyerahan Emas Perhiasan dan/atau jasa yang terkait dengan Emas Perhiasan, Pajak Masukan yang berhubungan dengan penyerahan tersebut tidak dapat dikreditkan (PMK Nomor 30/PMK.03/2014).

 

PKP yang sesuai kriteria dapat menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan, baik yang berasal dari kelompok dengan batas peredaran usaha ataupun kelompok kegiatan tertentu, akan menggunakan SPT Masa PPN dengan jenis SPT 1111DM. Sedangkan, teknis penerbitan faktur pajak keluaran tetap mengacu kepada ketentuan umum dan menggunakan aplikasi e-faktur.

2253648

PENGUSAHA KENA PAJAK

Sebelum membahas mengenai Pengusaha Kena Pajak, perlu diperhatikan terlebih dahulu mengenai definisi Pengusaha sesuai Pasal 1 angka 14 UU PPN.  Berdasarkan UU tersebut, Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya:

  1. menghasilkan barang;
  2. mengimpor barang;
  3. mengekspor barang;
  4. melakukan usaha pedagangan;
  5. memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean;
  6. melakukan usaha jasa (termasuk mengekspor jasa);
  7. memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.

Pengertian badan usaha dalam bentuk apapun di atas dapat berbentuk PT, CV, perseroan lainnya, BUMN atau BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Dalam Pasal 1 angka 15 UU PPN, yang dimaksud Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN.

Dalam praktiknya, termasuk pula dalam pengertian Pengusaha Kena Pajak adalah:

  1. Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi belum dikukuhkan;
  2. Bentuk kerjasama operasi (Joint Operation/Joint Venture: JO) yang melakukan penyerahaan BKP/JKP atas nama JO.

Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean dan/atau melakukan ekspor BKP Berwujud, ekspor JKP, dan/atau ekspor BKP Tidak Berwujud diwajibkan:

  • melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
  • memungut pajak yang terutang;
  • menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang; dan
  • melaporkan penghitungan pajak.

Kewajiban di atas tidak berlaku untuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan (lihat artikel sebelumnya mengenai Pengusaha Kecil dan Kewajibannya Menurut UU PPN). Namun pengusaha kecil dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Apabila pengusaha kecil memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak, maka kewajiban perpajakan menurut ketentuan undang-undang berlaku sepenuhnya bagi pengusaha kecil tersebut.