multiracial-group-young-creative-people-smart-casual-wear-discussing-business-brainstorming-meeting-ideas-mobile-application-software-design-project-modern-office

INSENTIF PAJAK UNTUK PT PERORANGAN

Sesuai dengan definisi Perseroan Perorangan (PT Perorangan) yaitu badan hukum perorangan yang memenuhi kriteria UMKM, pemerintah dalam hal ini Dirjen Pajak sangat mendukung para UMKM Indonesia melalui penyederhanaan aturan perpajakan agar UMKM dapat berperan lebih demi kelancaran dan stabilitas perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, di tahun 2018, Dirjen Pajak menerbitkan PP 23 Tahun 2018 dan PMK 99/PMK.03/2018 sebagai aturan pelaksanaannya.

PT Perorangan yang memiliki omset atau penghasilan bruto setahun kurang dari 4,8M hanya dikenakan pajak final 0,5% dari penghasilan bruto tiap bulannya. WP PT Perorangan cukup meyetorkan saja pajak 0,5% tiap bulan ke negara melalui bank persepsi. WP PT Perorangan tersebut dapat menikmati fasilitas tarif 0,5% selama 3 tahun sejak terdaftar. Misal PT Perorangan berdiri di tahun 2021 maka fasilitas pajak 0,5% dapat dinikmati hingga tahun 2023. Karena PP 23 merupakan pajak final, nantinya ketika akhir tahun atas laba yang ada tidak perlu lagi dikenakan pajak berdasar tarif Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Ditahun ke-4 karena PT Perorangan tidak dapat lagi menikmati tarif 0,5%, jangan khawatir Dirjen Pajak memberikan keringanan tarif PPh Badan Pasal 17 sebesar 50%. Atas laba akhir tahun dikenakan PPh Terutang sebesar 50% x 22% (tarif Pasal 17 UU PPh). Penyetoran pajak tiap bulannya dari PPh final PP 23 0,5% beralih menjadi Angsuran PPh Pasal 25, yang mana nilainya didapat dari PPh Terutang atas laba akhir tahun dikurangi dengan kredit pajak lalu dibagi 12. Angsuran PPh Pasal 25 yang dibayar nantinya dapat mengurangi jumlah pajak akhir tahun yang harus disetor ke negara.

WP PT Perorangan karena omsetnya dalam setahun kurang dari 4,8M dapat memilih untuk tidak dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) sehingga tidak berkewajiban untuk memungut dan menyetorkan PPN serta tidak wajib membuat Faktur Pajak dan melaporkan SPT PPN. Hal ini sejalan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013.

Kemudahan lainnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 54/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Melakukan Pencatatan dan Kriteria Tertentu Serta Tata Cara Menyelenggarakan Pembukuan untuk Tujuan Perpajakan.

young-woman-arranging-her-cake-shop (1)

PT PERSEORANGAN, APA ITU ??

Indonesia merupakan negara berkembang yang selalu meningkatkan kemampuan di berbagai sektor tak terkecuali sektor ekonomi dan bisnis. Peningkatan dalam sektor ekonomi dan bisnis dipicu oleh banyaknya pengusaha yang membuat bisnis dalam skala kecil maupun besar. Bisnis dalam bentuk perseroan terbatas (PT) lebih diminati karena statusnya sebagai badan hukum sehingga terdapat pemisahan tanggung jawab dan harta antara pemilik dan perusahaan.

Pemerintah melihat peluang tersebut dan membuat terobosan melalui terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja No 11 tahun 2020. Di Pasal 153A “Perseroan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro dan Kecil dapat didirikan oleh 1 orang yang dilakukan berdasarkan surat pernyataan pendirian yang dibuat dalam Bahasa Indonesia”. Perseroan tersebut adalah Perseroan Perorangan (PT Perorangan).

PT adalah sebuah badan hukum yang berfungsi melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang berupa saham. Seluruh kegiatan usaha PT harus memenuhi persyaratan dan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

“Lalu apakah perseroan perorangan termasuk badan hukum?”
Jawabannya adalah “Iya, perseroan perorangan merupakan badan hukum”.

Manfaat PT Perorangan menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) dapat memberikan perlindungan hukum melalui pemisahan kekayaan pribadi dan perusahaan dalam bentuk pernyataan modal. Keuntungan lainnya adalah:

  1. memudahkan para pelaku usaha dalam mengakses pembiayaan dari perbankan.
  2. Tidak memerlukan akta notaris dalam pendiriannya. Cara pendirian sangat mudah yaitu cukup dengan mengisi form pernyataan pendirian secara elektronik.
  3. Status badan hukum diperoleh setelah mendaftarkan pernyataan pendirian secara elektronik sehingga tidak lagi melalui pengesahan
  4. Tidak perlu mengumumkan dalam Tambahan Berita Negara
  5. Insentif Pajak

Adapun ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil diatur dalam:

  1. Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 2021 tentang Modal Dasar Perseroan serta Pendaftaran Pendirian, Perubahan, dan Pembubaran Perseroan yang Memenuhi Kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil;
  2. Peraturan Pemerintah No 7 tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
  3. Peraturan Menteri Hukum dan HAM No 21 Tahun 2021 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pendirian, Perubahan, dan Pembubaran Badan Hukum Perseroan Terbatas.

Pasal 2 PP No 8 Tahun 2021 menyatakan bahwa “perseroan yang memenuhi kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil terdiri atas Perseroan yang didirikan oleh 2 orang atau lebih dan Perseroan perorangan yang didirikan oleh 1 orang sebagai pemegang saham yang juga berperan sebagai Direktur”.

Berapa Modal Dasar untuk PT Perorangan?

Perseroan wajib memiliki modal dasar. Besaran modal dasar ditentukan berdasarkan keputusan pendiri perseroan. Adapun modal dasar perseroan harus ditempatkan dan disetor penuh paling sedikit 25% yang dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah. Bukti penyetoran yang sah “wajib” disampaikan secara elektronik kepada Menkumham dalam waktu paling lama 60 hari terhitung sejak tanggal Akta Pendirian Perseroan untuk perseroan atau Pengisian Pernyataan pendirian untuk perseroan perorangan.

Besaran modal dasar PT Perorangan dapat ditentukan berdasarkan keputusan pendiri perseroan. Tidak ada jumlah minimum modal dasar yang harus dipenuhi oleh pendiri. PT Perorangan hanya dapat didirikan untuk kriteria usaha mikro dan kecil sesuai dengan PP No 7 tahun 2021.

Kriteria usaha mikro ditentukan berdasarkan modal usaha maksimal Rp 1 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau omset setahun maksimal Rp 2 miliar.

Sementara itu kriteria usaha kecil ditentukan berdasarkan kepemilikan modal usaha lebih dari Rp1 miliar-Rp 5 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki omset setahun lebih dari Rp2 miliar-Rp15 miliar.

Jadi, PT Perorangan adalah badan hukum yang didirikan oleh 1 orang sebagai pemegang saham sekaligus direktur dengan modal usaha maksimal 5 miliar.

Karena statusnya adalah badan hukum, PT perorangan wajib membuat laporan keuangan. Laporan keuangan tersebut harus didaftarkan secara elektronik dan kementerian akan menerbitkan bukti penerimaan laporan keuangan secara elektronik juga. Isian dari laporan keuangan antara lain:

  • Laporan posisi keuangan;
  • Laporan laba rugi; dan
  • Catatan atas laporan keuangan tahun berjalan.

Apabila Perseroan Perorangan tidak menyampaikan laporan keuangan maka akan dikenakan sanksi berupa :

  • Teguran tertulis;
  • Penghentian hak akses atas layanan; atau
  • Pencabutan status badan hukum.

Yang perlu diketahui adalah Pendiri perseroan hanya dapat mendirikan PT untuk UMKM sejumlah 1 perseroan untuk UMKM dalam 1 tahun sesuai dengan pasal 153E UU Cipta Kerja.

PPh 25 Untuk UMKM Tahun 2021 Cukup Rp 0

PPh 25 Untuk UMKM Tahun 2021 Cukup Rp 0?

Apakah benar di tahun 2021, UMKM tidak perlu membayar PPh Pasal 25? Dalam artikel ini, kami akan membahas peraturan yang dapat dijadikan acuan, yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2018 (PP 23 Tahun 2018) tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dan juga Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-25/PJ/2019 (SE-25/PJ/2019) tentang Petunjuk Lebih Lanjut Pelaksanaan PMK Nomor 215/PMK.03/2018 tentang Perhitungan Angsuran PPh dalam Tahun Pajak Berjalan yang Harus Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak Baru, Bank, BUMN, BUMD, Wajib Pajak Masuk Bursa, Wajib Pajak Lainnya yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala dan Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.

Seperti yang diketahui, PP 23 Tahun 2018 sendiri merupakan lanjutan dari PP 46 Tahun 2013 yang menurunkan tarif PPh Final atas Peredaran Bruto Tertentu dari 1% menjadi 0,5%. Sesuai dengan Pasal 3 PP 23 Tahun 2018, tarif 0,5% ini dapat digunakan untuk Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang dikenai Pajak Penghasilan final, yaitu

  • Wajib Pajak orang pribadi; dan
  • Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, atau perseroan terbatas, yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.

Sesuai dengan peraturan ini, yang menjadi kata kunci sebenarnya bukanlah pengusaha UMKM, melainkan peredaran bruto tertentu (yang tidak melebihi Rp 4.800.000.000).

Perbedaan utama antara PP 23 Tahun 2018 dan PP 46 Tahun 2013 terletak jangka waktu penggunaan PPh bersifat Final. Pada PP 46 Tahun 2013, Wajib Pajak tidak memiliki jangka waktu untuk menggunakan tarif PPh Final ini, sedangkan pada PP 23 Tahun 2018 terdapat jangka waktu tertentu untuk pengenaan PPh yang bersifat final. Adapun jangka waktu yang dimaksud adalah sebagai berikut:

  • 7 (tujuh) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi;
  • 4 (empat) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, atau firma; dan
  • 3 (tiga) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas.

Jangka waktu yang dimaksud terhitung sejak:

  • Tahun Pajak Wajib Pajak terdaftar, bagi Wajib Pajak yang terdaftar sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini, atau
  • Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini, bagi Wajib Pajak yang telah terdaftar sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini.

Sebagai contoh, apabila terdapat Wajib Pajak Badan berbentuk PT dengan peredaran bruto kurang dari Rp 4.800.000.000, yang terdaftar di tahun 2021, maka tahun pajak dimulai di tahun 2021. Sehingga, perhitungan jangka waktu 3 tahun yang dimaksud adalah dihitung dari tahun 2021, 2022, dan 2023. Kemudian pada tahun 2024, Wajib Pajak tersebut tidak boleh lagi menggunakan tarif PPh 0,5% yang diatur dalam PP ini.

Apabila Wajib Pajak Badan terdaftar sebelum tahun 2018, maka tahun pajak akan dihitung mulai dari tahun 2018. Sehingga, perhitungan jangka waktu 3 tahun yang dimaksud dihitung dari tahun 2018, 2019 dan 2020. Selama jangka waktu tersebut, Wajib Pajak tersebut masih dapat menggunakan tarif 0,5%. Namun ketika Wajib Pajak memasuki tahun ke 4 di tahun 2021, Wajib Pajak tidak dapat lagi menerapkan tarif PPh Final sesuai PP 23 Tahun 2018 dan harus membayar Angsuran PPh dengan tarif umum (PPh Pasal 25).

Lalu, apakah benar bahwa di tahun 2021 ini, Wajib Pajak UMKM tidak perlu membayar PPh Pasal 25?

Dalam SE-25/PJ/2019 huruf E (Materi) angka 3 huruf b ditegaskan,

Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak yang tidak lagi memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 termasuk yang memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum adalah sebagai berikut:

  1. bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (7) huruf b UU PPh dan Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu, besarnya angsuran pajak adalah sesuai dengan besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak tersebut sebagaimana telah diatur dalam PMK-215;
  2. bagi Wajib Pajak selain Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, besarnya angsuran pajak untuk tahun pertama adalah nihil.

Sehingga dapat disimpulkan, bahwa berdasarkan SE-25/PJ/2019, Wajib Pajak yang tidak lagi memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang dimaksud dalam PP 23 Tahun 2018 dapat membayar Angsuran PPh Pasal 25 sebesar Rp 0,- (nihil). Namun, perlu diingat bahwa Angsuran PPh Pasal 25 ini merupakan kredit pajak yang dapat mengurangi jumlah PPh Tahunan Kurang Bayar (PPh Pasal 29) di akhir tahun pajak. Apabila Wajib Pajak tidak membayar angsuran PPh Pasal 25, maka jumlah PPh Pasal 29 di akhir tahun dapat menjadi sangat besar.

Oleh sebab itu, hal ini akan kembali lagi ke manajemen pajak atau manajemen keuangan masing-masing Perusahaan, apakah Perusahaan lebih memilih untuk membayar pajak kurang bayar yang besar di akhir tahun pajak atau membayar angsuran PPh Pasal 25 setiap bulannya, sehingga pada akhir tahun pajak, Wajib Pajak dapat membayar PPh kurang bayar yang lebih kecil karena sudah diangsur sebelumnya.