covid-19-global-economic-crisis

Perseroan Dapat Fasilitas Tarif Pajak Lebih Rendah

Bagi badan usaha yang memiliki kegiatan usaha perlu melakukan penyetoran dan pelaporan pajak atas penghasilan dari kegiatan usaha tersebut setiap tahunnya. Tahun pajak dalam jangka waktu 1 tahun kalender terkecuali wajib pajak menggunakan tahun buku yang berbeda dengan tahun kalender.

Sesuai dengan ketentuan Peraturan Meteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2023 Pasal 2 atas tarif pajak penghasilan yang dikenakan pada wajib pajak dalam negeri adalah sebesera 22%.  Adapun wajib pajak badan dalam negeri yang dapat menikmati fasilitas tarif 3% lebih rendah dari tarif  sebagaimana yang disebut pada Pasal 2. Berikut wajib Pajak dalam negeri yang dimaksud:

  1. Berbetuk Perseroan Terbuka;
  2. Dengan jumlah keseluruhan saham yang disetor dan diperdagangkan paling rendah 40%;
  3. Memenuhi syarat tertentu.

Wajib pajak perlu memenuhi persyaratan yaitu menyampaikan laporan kepada Direktorat Jendral Pajak, seperti laporan bulanan kepemilikan saham atas emiten atau perusahaan publik yang menajalankan sendiri atau menggunakan biro admistrasi efek. Laporan Laporan kepemilikan saham dilaporkan oleh Wajib Pajak sebagai lampiran dalam SPT Tahunan PPh Badan. Pasal 5 ayat 4 menegaskan bahwa laporan kepemilikan saham tersebut  memuat informasi mengenai:

  1. nama Wajib Pajak;
  2. NPWP;
  3. Tahun Pajak;
  4. nama pemegang saham yang memiliki hubungan istimewa dengan Wajib Pajak; NPWP pemegang saham yang memiliki hubungan istimewa dengan Wajib Pajak;
  5. hubungan istimewa pemegang saham dengan Wajib Pajak;
  6. jenis pengendalian dengan Wajib Pajak; jumlah kepemilikan saham yang dimiliki pihak yang mempunyai hubungan istimewa;
  7. jumlah persentase kepemilikan saham yang dimiliki pihak yang mempunyai hubungan istimewa.

terdapat penambahan informasi yang disampaikan oleh Dewan Komisaris OJK bahwa laporan tersebut dapat disampaikan melalui aplikasi atau sistem yang ditentukan DJP. Selain itu, untuk penyampaian daftar Wajib Pajak dilakukan paling lambat akhir bulan setelah berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.

Creative Innovation Inspiration Light Bulb Graphic Word

6 Tips Menghadapi Pemeriksaan Pajak

Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan. Pada pelaksanaannya pemeriksaan bertujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak, yang dibagi menjadi dua yaitu Pemeriksaan Khusus dan Pemeriksaan Rutin; Selain itu pemeriksaan dilakukan juga dengan tujuan dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perpajakan.

Pemeriksaan bisa saja terjadi pada Wajib Pajak Pribadi ataupun Perusahaan/Badan, dalam menghadapi pemeriksaan pajak berikut terdapat enam tips dalam menghadapinya, yaitu:

  1. Tindakan Preventif
    Tindakan preventif adalah melakukan tindakan-tindakan dalam rangka mencegah terjadinya pemeriksaan pajak. Tindakan yang dapat dilakukan berupa memenuhi dan menjalankan kewajiban perpajakan dengan baik, seperti pemotongan dan/atau pemungutan untuk pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN) sesuai dengan peraturan yang berlaku.
  2. Persiapan Dokumen
    Wajib Pajak dapat mempersiapkan dokumen-dokumen yang sekiranya akan diperlukan dalam pemeriksaan, seperti:
  • Laporan keuangan
  • Audit report (jika ada)
  • Rekening koran perusahaan
  • Akta pendirian perusahaan
  • SPT Tahunan dan Bulanan, dan
  • Dokumen-dokumen transaksi yang terjadi selama masa/tahun terjadinya proses pemeriksaan pajak.
  • File softcopy yang diminta sesuai dengan permintaan Tim Pemeriksa Pajak Pada prosesnya Wajib Pajak yang melakukan penyerahan dokumen/data ke tim pemeriksa perlu dibuatkan tanda terima agar nanti saat pemeriksaan pajak telah selesai, Wajib Pajak dapat mengingat kembali dokumen-dokumen apa saja yang sudah diberikan ke Tim Pemeriksa Pajak di KPP.
  1. Komunikasi
    Pada proses pemeriksaan pajak, komunikasi dengan Tim Pemeriksa sangatlah penting. Komunikasi biasanya berhubungan dengan permintaan dokumen tambahan yang diperlukan oleh Tim Pemeriksa, komunikasi dapat berupa telepon, chat, email atau Wajib Pajak diminta datang ke KPP untuk memberikan penjelasan secara lisan.
  2. Pembuktian dan Argumentasi
    Setiap temuan atau pertanyaan yang diajukan oleh Tim Pemeriksa kepada Wajib Pajak harus disertai dengan bukti-bukti, berupa bukti transaksi, bukti korespondensi dengan pihak lain, atau bukti berupa Analisa yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Setalah semua bukti terkumpul, Wajib Pajak dapat memberikan argumen yang sesuai dan disampaikan kepada Tim Pemeriksa Pajak.
  3. Pembahasan Akhir
    Setelah Wajib Pajak menyampaikan argumennya, Pihak Pemeriksa selanjutnya akan melakukan proses pembahasan akhir (closing) dimana Direktur atau kuasa akan diundang untuk membahas terkait dengan koreksi pajak saat pemeriksaan. Apabila dalam proses pembahasan akhir ditemukan persetujuan atas koreksi maka hasil koreksi yang disetujui akan dicantumkan dalam Laporan Hasil Pembahasan Akhir Pemeriksaan. Namun, apabila atas koreksi yang dilakukan oleh Tim Pemeriksa belum disetujui oleh Wajib Pajak dan koreksi tersebut tidak selesai dalam proses pemeriksaan pajak, maka setelah proses pemeriksaan selesai, Wajib Pajak dapat melakukan upaya hukum selanjutnya.
  4. Langkah Hukum Selanjutnya
    Setelah proses pemeriksaan selesai dan Wajib Pajak telah menerima Surat Ketetapan Pajak dari pihak KPP, maka upaya hukum selanjutnya yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak adalah melakukan proses Keberatan Pajak. Surat Keberatan Pajak dapat dibuat paling lambat 3 bulan sejak Surat Ketetapan Pajak diterima oleh Wajib Pajak dan disampaikan ke pihak KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.

    Penjelasan diatas merupakan beberapa tips yang dapat dilakukan dalam menghadapi pemeriksaan pajak. Wajib Pajak bisa lebih memperhatikan kewajibannya sebagai wajib pajak dan melakukan hal hal yang bisa dilakukan agar mencegah ataupun mempersiapkan diri dalam menghadapi pemeriksaan tersebut.

 

 

 

 

3613700

Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transfer Pricing

Pada analisis Transfer Pricing Perusahaan harus memperhatikan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PKKU). Hal yang dibandingkan dalam suatu prinsip kewajaran dan kelaziman usaha adalah kondisi dan indikator harga transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa dengan kondisi dan indikator harga transaksi independen. Antara harga transaksi yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan harga transaksi independent harus dalam kondisi yang sebanding. Apa yang dimaksud dengan Sebanding? Menurut PKKU atau dikenal dengan istilah Arm’s Length Principle (ALP), dalam kondisi yang sama atau sebanding, harga atau laba transaksi yang dilakukan oleh pihak – pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak independen atau pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa.

Penerapan PKKU wajib dilakukan oleh Wajib Pajak dalam hal pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban di bidang perpajakan terkait transaksi yang dipengaruhi Hubungan Istimewa. Dalam PER-43/PJ/2010 stdtd PER-32/PJ/2011 Penerapan PKKU wajib dilakukan:

  1. Berdasarkan keadaan yang sebenarnya
  2. Pada saat penentuan Harga Transfer dan/atau saat terjadinya transaksi yang dipengaruhi Hubungan Istimewa
  3. Sesuai dengan tahapan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha

Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan Harga Transfer sesuai dengan PKKU dalam hal Wajib Pajak :

  1. Tidak menerapkan PKKU
  2. Menerapkan PKKU namun tidak sesuai dengan ketentuan
  3. Harga Transfer yang ditentukan Wajib Pajak tidak memenuhi PKKU

Dalam PER-43/PJ/2010 stdtd PER-32/PJ/2011 pasal 3 ayat 2, PKKU dapat dilakukan dengan langkah – langkah sebagai berikut:

  1. Melakukan Analisis Kesebandingan dan menentukan pembanding;
  2. Menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
  3. Menerapkan PKKU berdasarkan hasil Analisis Kesebandingan dan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat pada transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang memiliki Hubungan Istimewa; dan
  4. Mendokumentasi setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar berdasarkan ketentuan perundang – undangan perpajakan yang berlaku.

Dalam PER-32/PJ/2011 Pasal 3 ayat 3 dijelaskan bahwa PKKU (Arms Length Principle) mendasarkan bahwa harga atau laba atas transaksi yang dilakukan oleh pihak independen atau pihak yang tidak memiliki Hubungan Istimewa ditentukan oleh kekuatan pasar, sehingga transaksi tersebut mencerminkan harga pasar yang wajar (Fair Market Value / FMV). Tujuan akhir dari PKKU adalah penetapan harga transaksi afiliasi, meskipun pembanding harga transaksi dilakukan pada tingkatan indikator selain harga, yaitu laba kotor atau laba bersih operasi.

518108-PIWEE9-16

Bagaimana Penerapan Pajak Apabila Wajib Pajak Telah Meninggal Dunia

Pernyataan bahwa kematian adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia membuktikan bahwa siklus kehidupan harus berakhir suatu saat. Bagi Wajib Pajak, kematian adalah peristiwa penting yang mempengaruhi aspek perpajakan. Dalam artikel ini, kita akan membahas penerapan pajak ketika seorang Wajib Pajak meninggal dunia dan langkah-langkah yang perlu diambil oleh ahli waris atau eksekutor untuk mematuhi ketentuan perpajakan yang berlaku.

Pelaporan Pajak Pasca Kematian,
Setelah seorang Wajib Pajak meninggal dunia, tugas pertama adalah melaporkan kejadian tersebut kepada otoritas pajak setempat. Biasanya, ahli waris atau eksekutor memiliki tanggung jawab untuk melaporkan kematian tersebut dalam jangka waktu yang ditentukan oleh hukum pajak negara. Laporan ini mencakup informasi pribadi Wajib Pajak yang meninggal, termasuk nama, alamat, nomor identifikasi pajak, serta tanggal kematian.

Penyelesaian Kewajiban Pajak,
Setelah pelaporan kematian, ahli waris atau eksekutor bertanggung jawab untuk menyelesaikan kewajiban pajak yang masih ada. Berikut adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan:

  • Pajak Penghasilan Individu (PPh): Jika Wajib Pajak meninggal selama tahun pajak, ahli waris atau eksekutor harus mengurus pelaporan dan pembayaran PPh hingga tanggal kematian. Ini melibatkan penghitungan pendapatan Wajib Pajak sejak awal tahun pajak hingga tanggal kematian dan menghitung jumlah pajak yang harus dibayarkan. PPh tersebut harus dilaporkan dan dibayarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
  • Pajak Harta Warisan: Jika terdapat harta warisan yang diterima oleh ahli waris sebagai hasil dari kematian Wajib Pajak, beberapa negara menerapkan pajak warisan atau pajak warisan atas harta tersebut. Ahli waris harus memahami peraturan perpajakan mengenai pajak warisan dan mematuhi persyaratan pelaporan dan pembayaran yang berlaku.

Mengonsultasikan Diri dengan Ahli Pajak atau Penasihat Hukum,
Dalam situasi kematian seorang Wajib Pajak, sangat disarankan agar ahli waris atau eksekutor berkonsultasi dengan ahli pajak atau penasihat hukum yang berpengalaman dalam perpajakan. Mereka dapat memberikan panduan dan bimbingan yang diperlukan untuk memahami kewajiban perpajakan yang berlaku, mendelegasikan tanggung jawab yang tepat, serta memastikan kepatuhan yang benar terhadap aturan dan regulasi perpajakan.

Dalam kesimpulannya, penerapan pajak setelah kematian seorang Wajib Pajak melibatkan pelaporan kematian, penyelesaian kewajiban pajak yang tertunda, penyelesaian pajak atas harta warisan, dan pengaturan pembubaran estate atau warisan. Ahli waris atau eksekutor harus memahami dan mematuhi ketentuan perpajakan yang berlaku serta berkonsultasi dengan ahli pajak atau penasihat hukum untuk mendapatkan panduan yang tepat. Dengan langkah-langkah yang benar, mereka dapat menyelesaikan tugas-tugas perpajakan yang diperlukan dengan efisien dan sesuai dengan hukum.

 

close up.business team considers profit using calculator.accounting

Objek Pajak Badan

Pada prinsipnya Objek Pajak PPh adalah penghasilan itu sendiri, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima oleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Dalam hal ini bagi Wajib Pajak badan Dalam Negeri berlaku prinsip World Wide Income, atau penghasilan yang diakui adalah yang diterima baik dari dalam maupun dari  Luar Negeri.

Secara lebih konkrit, menurut Pasal 4 ayat (1) UU PPh yang menjadi objek pajak bagi WP badan dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1. Dari kegiatan usaha, yakni dalam bentuk:

  • laba usaha;
  • penghasilan dari usaha berbasis syariah;
  • premi asuransi (bagi perusahaan asuransi);
  • bunga, dividen, fee atau passive income lain (bagi bank, perusahaan keuangan atau investasi);
  • surplus Bank Indonesia.

2. Dari kegiatan bukan usaha, misalnya:

a. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:

  • keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
  • keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
  • keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
  • keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
  • keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;

b. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;

c. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;

d. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;

e. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;

f. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

g. keuntungan karena pembebasan utang;

h. keuntungan selisih kurs mata uang asing;

i. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;

j. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;

k. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;

l. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam UU KUP.

Business partners handshake global corporate with technology concept

Hubungan Istimewa Wajib Pajak

Penyebab Timbulnya Hubungan Istimewa

Pasal 18 ayat (4) UU PPh memberikan definisi dalam hal bagaimana suatu hubungan istimewa di antara para Wajib Pajak itu terjadi. Hubungan istimewa di antara para Wajib Pajak dapat terjadi karena adanya hubungan ketergantungan atau keterikatan satu sama lain yang disebabkan karena:

  1. kepemilikan atau penyertaan modal;
  2. adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi;
  3. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan atau kesamping satu derajat.

Ketiga macam hubungan istimewa di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Hubungan Modal

Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir.

Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal  sebesar  25% atau lebih secara langsung ataupun tidak langsung. Misalnya, PT A mempunyai 50% saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung. Selanjutnya apabila PT B tersebut mempunyai 50%  saham PT C, maka PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C sebesar 25%. Dalam hal demikian antara PT A, PT B dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% saham PT D, maka antara PT B, PT C dan PT D dianggap terdapat hubungan istimewa.

Hubungan kepemilikan seperti tersebut di atas dapat juga terjadi antara orang pribadi dan badan.

 

2. Hubungan Penguasaan

Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung. Hubungan istimewa antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi, walaupun tidak terdapat hubungan kepemilikan.

Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama tersebut.

 

3. Hubungan Keluarga

Selain karena hal-hal tersebut di atas, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau karena perkawinan. Hubungan istimewa ini terjadi apabila terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat.

Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah saudara kandung.

Yang dimaksud dengan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah mertua dan anak tiri, sedangkan hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah saudara ipar.