calculator-1680905_1920

Skema Perpajakan Orang Pribadi

Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi terdapat 3 skema perpajakan antara lain:

  1. Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT)
  2. Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN)
  3. PP 23 Tahun 2018

1. Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT)

Orang Pribadi Pengusaha Tertentu atau yang biasa disebut sebagai OPPT adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan atau jasa, tidak termasuk jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, yang memiliki satu atau lebih tempat kegiatan usaha yang berbeda dengan tempat tinggal Wajib Pajak. Bagi Wajib Pajak OPPT, wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP bagi setiap lokasi usaha di KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat usaha tersebut dan di KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal WP. Sebagai contoh Tn. Bambang memiliki 2 lokasi usaha, di Delta Plaza Surabaya dan di Pasar Atom Surabaya, sedangkan tempat tinggalnya berada di daerah Perak Surabaya. Maka KPP Pratama Krembangan akan menerbitkan NPWP Domisili karena tempat tinggal Tn. Bambang berada di daerah Perak Surabaya, dan Tn. Bambang wajib mendaftarkan lokasi usahanya yang ada di Delta Plaza ke KPP Pratama Genteng sebagai NPWP Cabang serta wajib mendatarkan lokasi usahanya yang ada di Pasar Atom Surabaya ke KPP Pratama Pabean Cantikan sebagai NPWP Cabang juga.

Lantas bagaimana dengan pembayaran angsuran PPh Pasal 25-nya?

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2018 Pasal 7, angsuran PPh Pasal 25-nya ditetapkan sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha. Dari cerita Tn. Bambang di atas, maka Tn. Bambang wajib membayar angsuran PPh Pasal 25 sebesar 0,75% dari omset penjualan yang ada di outlet Delta Plaza menggunakan NPWP yang terdaftar pada KPP Pratama Genteng dan 0,75% dari omset penjualan yang ada di outlet Pasar Atom menggunakan NPWP yang terdaftar pada KPP Pratama Pabean Cantikan. Nantinya angsuran PPh Pasal 25 yang sudah dibayarkan pada masing-masing NPWP Cabang dapat dijadikan pengurang di SPT Tahunan Pribadi Tn. Bambang yang terlapor pada KPP Pratama Krembangan.

 

2. Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN)

Norma Penghitungan Penghasilan Neto atau yang biasa disebut dengan Norma adalah pedoman yang dipergunakan untuk menghitung Penghasilan Netto bagi Wajib Pajak yang berhak untuk menghitung Penghasilan Nettonya dengan menggunakan Norma Penghitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan. Yang boleh menggunakan Norma sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-17/PJ/2015 adalah WP OP yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 tahun kurang dari Rp4.800.000.000 dengan syarat, wajib terlebih dahulu memberitahukan kepada DJP dalam jangka waktu tiga bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Misal Tn. Budi yang memiliki usaha jasa pembukuan akuntansi, apabila di Tahun Pajak 2020 ingin menggunakan Norma maka paling lambat penyampaian surat memilih menggunakan Norma ke KPP tempat WP terdaftar adalah tanggal 31 Maret 2020, bukan 31 Maret 2021. Jika Tn. Budi tidak memberitahukan surat memilih menggunakan Norma kepada DJP maka Tn. Budi dianggap memilih pembukuan.

Pembukuan itu apa sih?

Pembukuan adalah proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan penyerahan barang dan jasa. Jika WP memilih menggunakan pembukuan nantinya dalam pelaporan SPT Tahunan wajib melampirkan Laporan Keuangan sekurang-kurangnya adalah Laba Rugi dan Neraca.

Tarif Norma Penghitungan Penghasilan Neto dibedakan menurut 3 kelompok wilayah:

  1. 10 ibukota propinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak
  2. Ibukota propinsi lainnya
  3. Daerah lainnya.

Apabila Tn. Budi yang belum menikah, ternyata lokasi usahanya ada di Jakarta dan selama tahun 2020 memiliki penghasilan bruto sebesar Rp 1M, maka PPh terutang Tn. Budi di SPT Tahunan 2020 adalah:

  1. Cari dahulu tarif norma penghitungan sesuai Lampiran 1 PER-17/PJ/2015. Untuk jenis usaha jasa akuntansi pembukuan (KLU 69200) di Jakarta adalah 50%
  2. Hitung besarnya penghasilan neto. Penghasilan neto didapat dari tarif norma dikalikan dengan penghasilan bruto. Penghasilan neto Tn. Budi untuk Tahun 2020 sebesar Rp 500.000.000 (Rp 1M dikalikan 50%)
  3. Hitung Penghasilan Kena Pajaknya. Penghasilan Kena Pajak (PKP) adalah Penghasilan Neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). PKP Tn. Budi menghasilkan angka sebesar Rp 446.000.000 didapat dari penghasilan neto 500.000.000 dikurangi PTKP 54.000.000
  4. Hitung Pajak Penghasilan terutang menggunakan tarif progresif sesuai pasal 17 ayat 1 huruf (a) UU Pajak Penghasilan. Didapat PPh terutang sebesar Rp 81.500.000.

Penghitungan penghasilan neto bagi WP yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha/pekerjaan bebas, dilakukan terhadap masing-masing jenis usaha atau pekerjaan bebas dengan memperhatikan pengelompokan wilayah. Penghasilan neto bagi tiap jenis usaha dihitung dengan cara mengalikan angka persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan peredaran bruto atau penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dalam satu Tahun Pajak.

Dalam hal terhadap Wajib Pajak badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dilakukan pemeriksaan dan ternyata Wajib Pajak orang pribadi atau badan tersebut tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya, maka penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan tarif persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang ada pada Lampiran 2 dan 3 PER-17/PJ/2015.

 

3. Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2018

PP 23 Tahun 2018 adalah pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto kurang dari 4,8M dalam satu Tahun Pajak. Tarif pajaknya hanya 0,5% dari omzet. Oleh karena itu, PP 23 merupakan pajak primadona yang dipilih oleh kebanyakan para Wajib Pajak UMKM.

Subjek Pajak yang tidak diperbolehkan menggunakan PP 23 adalah:

  1. Wajib Pajak yang memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), atau Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan;
  2. Wajib Pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk oleh beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
  3. Wajib Pajak badan yang memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan atau Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan beserta perubahan atau penggantinya; dan
  4. Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap.

Sebagai contoh, Tn. S yang berprofesi sebagai konsultan hukum dan Tn.P yang bukan konsultan hukum membuka usaha jasa konsultan hukum SMP Laws & Rekan. Apabila SMP Laws & Rekan pada satu tahun pajak ternyata penghasilan brutonya kurang dari 4,8M, maka berdasarkan aturan PP 23 maka SMP Laws & Rekan tidak diperkenankan menggunakan PP 23 dengan tarif 0,5% karena salah satu dari pendirinya memiliki keahlian sejenis dengan usaha yang dibentuknya. Sehingga SMP Laws & Rekan wajib menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh.

Penghasilan berikut ini juga dikecualikan dari penggunaan PP 23:

  1. Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, sebagai contoh:
    • tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, PPAT, penilai
    • pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari
    • olahragawan
    • penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator
    • pengarang, peneliti, dan penerjemah
    • agen iklan
    • pengawas atau pengelola proyek
    • perantara / makelar
    • petugas penjaja barang dagangan
    • agen asuransi
    • distributor perusahaan pemasaran berjenjang atau penjualan langsung dan kegiatan sejenis lainnya
  1. Penghasilan di luar negeri yang pajaknya terutang atau telah dibayar di luar negeri;
  2. Penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
  3. Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak

Misal Aureli merupakan seorang arsitek yang memiliki usaha toko bahan bangunan serta terdapat tambahan penghasilan dari persewaan ruang kantor. Peredaran bruto tahun pajak 2020 atas jasa arsitek sebesar Rp 3.000.000.000, peredaran bruto dari toko bahan bangunan Rp 2.200.000.000, dan pendapatan dari persewaan ruang kantor Rp 100.000.000 sehingga total peredaran bruto seluruhnya adalah Rp 5.300.000.000.

Jasa arsitek atas nama pribadi Aureli merupakan penghasilan yang dikecualikan dari pengenaan PP 23 Tahun 2018 sehingga atas jasa tersebut dihitung menggunakan berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Pendapatan dari persewaan ruang kantor merupakan objek pajak yang dikecualikan dari pengenaan PP 23 Tahun 2018 karena penghasilan tersebut telah dikenai pajak bersifat final sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan prepajakan tersendiri. Peredaran bruto yang dikenai PP 23 0,5% adalah atas penghasilan dari penjualan bahan bangunan karena jumlah penghasilan brutonya dalam setahun kurang dari 4,8M.

Penerapan PP 23 merupakan “pilihan”. Apabila atas penghasilan dari penjualan bahan bangunan tidak ingin dikenai pajak 0,5% maka Aureli wajib memberitahukan ke KPP tempat WP terdaftar paling lambat akhir Tahun Pajak sehingga WP mulai menerapkan berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak berikutnya. Misal Aureli tidak bersedia menerapkan PP 23 untuk Tahun Pajak 2021, maka Aureli wajib menyampaikan surat pemberitahuan ke KPP paling lambat 31 Desember 2020. Jika Aureli baru menyampaikan surat pemberitahuan pada tanggal 1 Januari 2021 maka atas penghasilan dari penjualan bahan bangunan di tahun 2021 tetap dikenakan tarif pajak 0,5%.

Bagi WP yang terdaftar sejak tanggal 1 Januari 2019 dapat dikenai PPh berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan mulai  Tahun Pajak terdaftar dengan cara menyampaikan pemberitahuan pada “saat mendaftarkan diri” untuk memperoleh NPWP. Penetapan wajib atau tidaknya penggunaan PP 23 0,5% didasarkan pada peredaran bruto dalam 1 tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak bersangkutan, yang ditentukan berdasarkan keseluruhan peredaran bruto dari usaha termasuk peredaran bruto dari cabang. Bagi Orang Pribadi suami-istri yang menghendaki perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis atau istrinya menghendaki memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, maka penetapan peredaran brutonya merupakan total peredaran bruto suami ditambah dengan peredaran bruto istri.

Sebagai contoh Tuan G dan Nyonya H adalah menghendaki perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis. Tahun Pajak 2018, Tuan G memiliki usaha toko kelontong dengan peredaran bruto Rp 4.000.000.000 dan Nyonya H memiliki usaha salon dengan peredaran bruto Rp 1.000.000.000. Meskipun peredaran bruto masing-masing kurang dari 4,8M tetapi jumlah peredaran bruto Tuan G & Nyonya H sebesar Rp 5.000.000.000. Maka atas penghasilan dari usaha Tuan G dan Nyonya H tidak dapat dikenai PPh 0,5%.

Apabila penghasilan bruto di tahun 2018 kurang dari 4,8M sehingga pada tahun 2019 membayar pajak 0,5%, dan penghasilan dari Januari hingga September 2019 sudah melebihi 4,8M, maka WP meneruskan pembayaran PP 23 0,5% hingga masa pajak Desember 2019. Mulai tahun 2020 WP sudah beralih menggunakan tarif Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Bagi WP yang menggunakan PP 23, dapat meminta Surat Keterangan PP 23 kepada KPP yang bertujuan agar tidak dilakukan pemotongan pajak berdasarkan tarif perpajakan umum, melainkan langsung dipotong pajak 0,5% oleh lawan transaksi apabila lawan transaksi tersebut adalah pemotong/pemungut.

Sebagai contoh, Tuan B memiliki usaha toko elektronik dan memenuhi kriteria WP yang dikenai Pajak Penghasilan Final berdasarkan aturan ini. Bulan Januari 2019 total peredaran bruto sebesar Rp 300.000.000 yang terdiri dari penjualan kepada Dinas Perhubungan sebesar Rp 200.000.000, penjualan kepada PT.Z sebesar Rp 90.000.000, dan penjualan kepada pembeli OP yang langsung datang ke toko miliknya sebesar Rp 10.000.000. Tuan B memiliki Sket PP 23 dan memberikannya kepada lawan transaksi, yaitu Dinas Perhubungan dan PT.Z. PPh final PP 23 yang terutang untuk bulan Januari 2019 dihitung sebagai berikut:

  1. PP 23 yang dipotong dan disetorkan ke negara oleh Dinas Perhubungan = 0,5% x 200.000.000 = 1.000.000
  2. PP 23 yang dipotong dan disetorkan ke negara oleh PT Z = 0,5% x 90.000.000 = 450.000
  3. PP 23 yang dibayar sendiri oleh Tn. B ke negara = 0,5% x 10.000.000 = 50.000

Bagaimana cara menentukan apakah penghasilan saya dikenai PP 23 Tahun 2018 atau Norma Penghitungan Penghasilan Neto ataukah OPPT??

Pertama, kelompokkan jenis usaha yang kita lakukan kemudian total berapa penghasilan bruto dari masing-masing jenis usaha.

Kedua, atas penghasilan bruto yang memiliki omset kurang dari 4,8M apakah masuk ke dalam yang dikecualikan dari subjek atau objek PP 23? Jika iya maka penghasilan tersebut dikenakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Jika atas omset yang kurang dari 4,8M masuk dalam kriteria PP 23 Tahun 2018 maka atas jenis usaha tersebut dikenakan pajak 0,5%.

Ketiga, bagi penghasilan yang lebih dari 4,8M apakah dihasilkan dari 1 lokasi usaha atau dari beberapa lokasi usaha? Jika atas beberapa lokasi usaha maka atas penghasilan tersebut dikecualikan dari pengenaan PP 23 0,5% karena merupakan objek dari OPPT yang wajib melakukan pengangsuran PPh Pasal 25 sebesar 0,75%.

Comments are closed.