young-woman-arranging-her-cake-shop (1)

PT PERSEORANGAN, APA ITU ??

Indonesia merupakan negara berkembang yang selalu meningkatkan kemampuan di berbagai sektor tak terkecuali sektor ekonomi dan bisnis. Peningkatan dalam sektor ekonomi dan bisnis dipicu oleh banyaknya pengusaha yang membuat bisnis dalam skala kecil maupun besar. Bisnis dalam bentuk perseroan terbatas (PT) lebih diminati karena statusnya sebagai badan hukum sehingga terdapat pemisahan tanggung jawab dan harta antara pemilik dan perusahaan.

Pemerintah melihat peluang tersebut dan membuat terobosan melalui terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja No 11 tahun 2020. Di Pasal 153A “Perseroan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro dan Kecil dapat didirikan oleh 1 orang yang dilakukan berdasarkan surat pernyataan pendirian yang dibuat dalam Bahasa Indonesia”. Perseroan tersebut adalah Perseroan Perorangan (PT Perorangan).

PT adalah sebuah badan hukum yang berfungsi melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang berupa saham. Seluruh kegiatan usaha PT harus memenuhi persyaratan dan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

“Lalu apakah perseroan perorangan termasuk badan hukum?”
Jawabannya adalah “Iya, perseroan perorangan merupakan badan hukum”.

Manfaat PT Perorangan menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) dapat memberikan perlindungan hukum melalui pemisahan kekayaan pribadi dan perusahaan dalam bentuk pernyataan modal. Keuntungan lainnya adalah:

  1. memudahkan para pelaku usaha dalam mengakses pembiayaan dari perbankan.
  2. Tidak memerlukan akta notaris dalam pendiriannya. Cara pendirian sangat mudah yaitu cukup dengan mengisi form pernyataan pendirian secara elektronik.
  3. Status badan hukum diperoleh setelah mendaftarkan pernyataan pendirian secara elektronik sehingga tidak lagi melalui pengesahan
  4. Tidak perlu mengumumkan dalam Tambahan Berita Negara
  5. Insentif Pajak

Adapun ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil diatur dalam:

  1. Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 2021 tentang Modal Dasar Perseroan serta Pendaftaran Pendirian, Perubahan, dan Pembubaran Perseroan yang Memenuhi Kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil;
  2. Peraturan Pemerintah No 7 tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
  3. Peraturan Menteri Hukum dan HAM No 21 Tahun 2021 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pendirian, Perubahan, dan Pembubaran Badan Hukum Perseroan Terbatas.

Pasal 2 PP No 8 Tahun 2021 menyatakan bahwa “perseroan yang memenuhi kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil terdiri atas Perseroan yang didirikan oleh 2 orang atau lebih dan Perseroan perorangan yang didirikan oleh 1 orang sebagai pemegang saham yang juga berperan sebagai Direktur”.

Berapa Modal Dasar untuk PT Perorangan?

Perseroan wajib memiliki modal dasar. Besaran modal dasar ditentukan berdasarkan keputusan pendiri perseroan. Adapun modal dasar perseroan harus ditempatkan dan disetor penuh paling sedikit 25% yang dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah. Bukti penyetoran yang sah “wajib” disampaikan secara elektronik kepada Menkumham dalam waktu paling lama 60 hari terhitung sejak tanggal Akta Pendirian Perseroan untuk perseroan atau Pengisian Pernyataan pendirian untuk perseroan perorangan.

Besaran modal dasar PT Perorangan dapat ditentukan berdasarkan keputusan pendiri perseroan. Tidak ada jumlah minimum modal dasar yang harus dipenuhi oleh pendiri. PT Perorangan hanya dapat didirikan untuk kriteria usaha mikro dan kecil sesuai dengan PP No 7 tahun 2021.

Kriteria usaha mikro ditentukan berdasarkan modal usaha maksimal Rp 1 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau omset setahun maksimal Rp 2 miliar.

Sementara itu kriteria usaha kecil ditentukan berdasarkan kepemilikan modal usaha lebih dari Rp1 miliar-Rp 5 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki omset setahun lebih dari Rp2 miliar-Rp15 miliar.

Jadi, PT Perorangan adalah badan hukum yang didirikan oleh 1 orang sebagai pemegang saham sekaligus direktur dengan modal usaha maksimal 5 miliar.

Karena statusnya adalah badan hukum, PT perorangan wajib membuat laporan keuangan. Laporan keuangan tersebut harus didaftarkan secara elektronik dan kementerian akan menerbitkan bukti penerimaan laporan keuangan secara elektronik juga. Isian dari laporan keuangan antara lain:

  • Laporan posisi keuangan;
  • Laporan laba rugi; dan
  • Catatan atas laporan keuangan tahun berjalan.

Apabila Perseroan Perorangan tidak menyampaikan laporan keuangan maka akan dikenakan sanksi berupa :

  • Teguran tertulis;
  • Penghentian hak akses atas layanan; atau
  • Pencabutan status badan hukum.

Yang perlu diketahui adalah Pendiri perseroan hanya dapat mendirikan PT untuk UMKM sejumlah 1 perseroan untuk UMKM dalam 1 tahun sesuai dengan pasal 153E UU Cipta Kerja.

Administrator business man financial inspector and secretary making report, calculating balance. Internal Revenue Service checking document. Audit concept

Asas dan Dasar Pungutan Pajak

Untuk mencapai tujuan pemungutan pajak, dalam memilih alternatif pemungutan perlu berdasar pada asas-asas pemungutan pajak sehingga terdapat keserasian antara pemungutan pajak dengan tujuan dan asasnya. Adam Smith dalam buku “An Inquiri into the Natura and Clauses of the Wealth of Nation” menyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada asas:

  1. Equality

Pemungutan pajak harus bersifat final adil dan merata, yaitu dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak (ability to pay) dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan bahwa setiap wajib pajak menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingannya dan manfaat yang diterima.

  1. Certainty

Penerapan pajak itu tidak ditentukan dengan sewenang-wenang. Oleh karena itu wajib pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti pajak yang terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran.

  1. Convenience

Kapan Wajib Pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak menyulitkan Wajib Pajak  Sebagai contoh pada saat Wajib Pajak memperoleh penghasilan. Sistem pemungutan ini disebut Pay as You Earn.

  1. Economy

Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminimal mungkin, demikian pula beban yang dipikul Wajib Pajak.

Asas keadilan dalam prinsip perundang-undangan perpajakan maupun dalam hal pelaksanaannya harus dipegang teguh walaupun keadilan itu sangat relatif.

Flat lay of business concept

Dasar Teori Pemungutan Pajak

Meski dijelaskan berbagai teori tentang dasar pemungutan pajak, pembayaran pajak umumnya telah dianggap sebagai sebuah beban, ketimbang sebagai sebuah kewajiban apalagi sebuah kesadaran bahwa pemungutan pajak memang perlu didukung. Hal ini antara lain disebabkan karena tidak adanya kontraprestasi yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak. Teori yang menjadi “dasar” bagi negara untuk pemenuhan pajak, antara lain:

Teori Asuransi

Dalam perjanjian asuransi diperlukan pembayaran premi. Premi tersebut dimaksudkan sebagai pembayaran atas usaha melindungi orang dari segala kepentingannya misalnya keselamatan atau keamanan harta bendanya. Masyarakat seakan mempertanggungkan keselamatan dan keamanan jiwanya kepada negara sehingga masyarakat harus membayar “premi” kepada negara. Pada kenyataannya menyamakan pajak dengan premi tidaklah tepat, karena jika masyarakat mengalami kerugian, negara tidak dapat memberikan penggantian layaknya perusahaan asuransi.

Teori Kepentingan

Teori kepentingan diartikan bahwa negara yang melindungi kepentingan harta dan jiwa warga negara dengan memperhatikan pembagian beban yang harus dipungut dari masyarakat. Pembebanan ini didasarkan pada kepentingan setiap orang termasuk perlindungan jiwa dan hartanya. Oleh karena itu, pengeluaran negara untuk melindunginya dibebankan pada masyarakat. Warga negara yang memiliki harta lebih banyak akan membayar pajak yang lebih besar, dan sebaliknya yang memiliki harta lebih sedikit membayar pajak lebih kecil untuk melindungi kepentingannya.

Teori Gaya Pikul

Teori ini berpangkal dari azas keadilan yaitu bahwa tiap orang dikenakan pajak dengan bobot yang sama. Pajak yang dibayar adalah menurut gaya pikul dengan ukuran besarnya penghasilan dan pengeluaran sesorang. Kekuatan (Gaya Pikul) untuk membayar pajak baru ada setelah terpenuhinya kebutuhan primer seseorang. Dalam Pajak Penghasilan kita kenal konsep Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Bila seseorang berpenghasilan di bawah PTKP berarti gaya pikulnya tidak ada sehingga ia tidak harus membayar pajak. Teori ini lebih menekankan unsur kemampuan seseorang dan rasa keadilan.

Teori Bakti

Teori ini disebut juga teori kewajiban pajak mutlak. Teori ini mendasakan bahwa negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak. Di lain pihak, masyarakat menyadari bahwa membayar pajak sebagai suatu kewajiban untuk membuktikan tanda baktinya terhadap negara karena negaralah yang bertugas menyelenggarakan kepentingan masyarakatnya. Dengan demikikan dasar hukum pajak terletak pada hubungan masyarakat dengan negara.

Teori Gaya Beli

Pembayaran pajak dimaksudkan untuk memelihara masyarakatnya. Pembayaran pajak yang dilakukan terhadap negara lebih ditekankan pada fungsi mengatur dari pajak agar masyarakat tetap eksis. Teori ini mendasarkan pada penyelenggaraan kepentingan masyarakat yang dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu atau negara, sehingga pajak lebih menitikberatkan pada fungsi mengatur. Dalam teori ini kemaslahatan masyarakat akan tetap terjamin dengan pembayaran pajak.

Cropped image of business man sitting by the table in cafe and analyzing indicators on laptop computer

PENJUALAN SAHAM WPLN KENA PAJAK

“Apakah penjualan saham yang dimiliki WP Luar Negeri sebagai pemegang saham di PT tertutup dikenakan pajak??”
“Lantas bagaimana cara pembayarannya??”

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 434/KMK.04/1999 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh WP Luar Negeri (LN) Selain BUT atas Penghasilan Berupa Keuntungan dari Penjualan Saham Pasal 2 Ayat 1 menyebutkan bahwa “Atas penghasilan dari penjualan saham Perseroan yang diperoleh WPLN selain BUT dipotong pajak sebesar 20% dari perkiraan penghasilan netto”. Besarnya perkiraan penghasilan netto adalah 25% dari harga jual sehingga besarnya PPh Pasal 26 adalah 20% x 25% atau 5% dari harga jual.

Di Pasal 3 dijelaskan bahwa Penghasilan dari penjualan saham di dalam negeri yang diperoleh atau diterima WPLN, dipotong pajak oleh pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak dan dibuatkan bukti pemotongan PPh Pasal 26. Dalam hal pembelinya adalah WPLN, maka yang ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah Perseroan.

Misal komponen saham pada PT. AD AP Indonesia terdiri dari:

Nama Pemegang Saham Lembar Saham Persentase Kepemilikan Modal Disetor
AD Corporation 37.500 75% 37.500.000.000
AP Indonesia 12.500 25% 12.500.000.000

AD Corporation merupakan subjek WPLN. Apabila AD Corportion menjual sahamnya kepada:

  1. WPLN, maka pihak yang menyetorkan pajaknya adalah AD AP Indonesia. Jadi PT AD AP Indonesia wajib memotong serta menyetorkan ke negara dengan menggunakan nama WPLN pemegang saham paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak dan membuat bukti potong PPh Pasal 26 serta melaporkannya paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir;
  2. WPDN, maka pihak yang menyetorkan pajaknya adalah pemotong/pihak yang membeli saham tersebut. Pemotong/pihak pembeli paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak  wajib meyetorkan pajaknya dan melaporkannya paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.

 

Money and income attraction. Business people working among calculator, cash and magnet. Flat vector illustration for finance, investment, loan, accounting, profit concepts

Penghitungan Kembali Pajak Masukan

Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kepastian kepada Pengusaha Kena Pajak.

Pedoman pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak atau dibebaskan diatur dalam PMK Nomor 78/PMK.03/2010 stdtd. PMK Nomor 135/PMK.011/2014.

Pajak Masukan Untuk Penyerahan Yang Terutang Pajak Dan Yang Tidak Terutang Pajak

Pengusaha Kena Pajak yang:

  • menghasilkan BKP yang atas penyerahannya termasuk dalam Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak; dan
  • mengolah dan/atau memanfaatkan lebih lanjut BKP sebagaimana dimaksud pada huruf a, baik melalui unit pengolahan sendiri maupun melalui titip olah dengan menggunakan fasilitas pengolahan PKP lainnya sehingga menjadi BKP yang atas penyerahannya termasuk dalam Penyerahan yang Terutang Pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, Pajak Masukan yang sudah dibayar dapat dikreditkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pedoman Penghitungan Pajak Masukan Yang Dapat Dikreditkan

Pedoman penghitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan penyerahan yang terutang pajak dan yang tidak terutang pajak adalah sebagai berikut:

P = PM x Z

dimana:

P      =  jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;
PM  =  jumlah Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP;
Z      =  persentase yang sebanding dengan jumlah penyerahan yang terutang pajak terhadap penyerahan seluruhnya.

Terhadap Pengusaha Kena Pajak yang telah mengkreditkan Pajak Masukan dengan menggunakan pedoman penghitungan sebagaimana di atas, harus menghitung kembali besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Penghitungan kembali Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dilakukan dengan menggunakan pedoman penghitungan sebagai berikut:

  1. Untuk BKP dan JKP yang masa manfaatnya lebih dari 1 (satu) tahun:

    P’ = PM/T x Z’

    dimana:

    P      =  jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dalam 1(satu) tahun buku;
    PM   =  jumlah Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP;
    T      =  masa manfaat BKP dan/atau JKP yang ditetapkan sebagai berikut:

    • untuk BKP berupa tanah dan bangunan adalah 10 tahun;
    • untuk BKP selain tanah dan bangunan dan JKP adalah 4 tahun;

    Z   = persentase yang sebanding dengan jumlah penyerahan yang terutang pajak terhadap seluruh penyerahan dalam 1 (satu) tahun buku.

  2. Untuk BKP dan JKP yang masa manfaatnya 1 (satu) tahun atau kurang:
P’ = PM x Z’

dimana:

P’     =  jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkandalam 1 (satu) tahun buku;
PM  =  jumlah Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP;
Z’  = persentase yang sebanding dengan jumlah penyerahan yang terutang pajak terhadap seluruh penyerahan dalam 1 (satu) tahun buku.

Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dari hasil penghitungan kembali di atas, diperhitungkan dengan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan pada suatu Masa Pajak, paling lama pada bulan ketiga setelah berakhirnya tahun buku.

Penghitungan kembali Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tidak perlu dilakukan dalam hal masa manfaat BKP dan/atau JKP yang lebih dari 1 (satu) tahun telah berakhir.

Volunteers packing donation boxes. People donating toys, foods, sweets. Vector illustration for charity, welfare, assistance concept

Perbedaan Pajak dengan Jenis Pungutan Lain

Pajak

Di berbagai negara maju di dunia pajak telah menjadi sumber penerimaan negara yang paling besar. Pajak menjadi tolok ukur sampai sejauh mana suatu negara dapat membiayai pengeluaran-pengeluaran negara dengan mandiri. Di Indonesia sendiri sejak reformasi perpajakan digulirkan pada tahun 1983, penerimaan pajak telah meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun.

Beberapa ahli dalam bukunya masing-masing telah mendefinisikan pajak, diantaranya adalah pengertian pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH dalam bukunya “Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan” (1990:5):

“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”

Sedangkan pengertian pajak yang tertuang dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuam Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu pada Pasal 1 angka 1:

“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Dari pengertian tersebut dapatlah disimpulkan bahwa unsur yang melekat pada pengertian pajak yaitu:

  1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
  2. Sifatnya dapat dipaksakan. Hal ini berarti pelanggaran atas aturan pepajakan akan berakibat adanya sanksi.
  3. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi secara langsung oleh pemerintah.
  4. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pemungutan pajak tidak boleh dilakukan pihak swasta yang orientasinya adalah keuntungan.
  5. Pajak yang diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.

Retribusi

Retribusi pada umumnya mempunyai hubungan langsung dengan kembalinya prestasi (ada kontraprestasi secara langsung) karena pembayaran tersebut ditujukan semata-mata untuk mendapatkan suatu prestasi tertentu dari pemerintah, misalnya pembayaran uang kuliah, karcis masuk terminal, kartu langganan, karcis masuk tol dan lain-lain.

Pungutan retribusi di Indonesia didasarkan pada Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam Pasal 1 angka 64 undang-undang dimaksud menyebutkan bahwa retribusi daerah, yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan daerah sebagai pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

Sumbangan

Pengertian sumbangan ini tidak boleh dicampuradukkan dengan retribusi. Dalam retribusi dapat ditunjuk seseorang yang menikmati kontraprestasi secara langsung yaitu pembayar retribusi, sedangkan pada sumbangan, yang merasakan imbalan/manfaat langsung adalah penerima sumbangan. Sebagai contoh sumbangan bencana alam, dan sumbangan pengungsi.

Couple winning prize. Man and woman holding gift box flat vector illustration. Lottery, present, birthday party concept for banner, website design or landing web page

INSENTIF PAJAK BAGI WAJIB PAJAK YANG TERDAMPAK COVID-19 DIPERPANJANG HINGGA 30 JUNI 2022

Di tanggal cantik 2-2-22 DJP merilis Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-3/PMK.03/2022 tentang Insentif Pajak untuk WP Terdampak Pandemi Covid-19 yang ditetapkan pada 21 Januari 2022.

Insentif Pajak yang diatur dalam PMK-3/PMK.03/2022 antara lain:

  1. Insentif Pembebasan PPh 22 Impor
    – WP yang KLU nya ada pada Lampiran A PMK-3/PMK.03/2022 mendapatkan fasilitas dibebaskan PPh 22 Impornya.
    – KLU yang dijadikan patokan adalah KLU yang tercantum pada Masterfile DJP (bukan berdasarkan SPT Tahunan).
    – WP wajib mengajukan permohonan ulang untuk mendapatkan SKB PPh 22 Impor melalui www.djponline.pajak.go.id.
    – Masa berlakunya SKB PPh 22 Impor adalah saat tanggal SKB PPh 22 Impor diterbitkan hingga 30 Juni 2022.
    – Dalam hal terdapat perubahan KLU (KLU sebelumnya memenuhi ketentuan PMK-3/PMK.03/2022 kemudian mengalami perubahan dan KLU baru tidak ada pada Lampiran A PMK-3/PMK.03/2022) maka atas SKB PPh 22 Impor yang telah terbit menjadi tidak berlaku lagi terhitung sejak tanggal perubahan KLU.
    – WP wajib menyampaikan laporan realisasi Pembebasan PPh 22 Impor setiap bulannya paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir melalui www.djponline.pajak.go.id.
    – WP yang akan memanfaatkan insentif pembebasan PPh 22 Impor harus telah menyampaikan SPT Tahunan Tahun Pajak 2020.
  2. Insentif Pengurangan 50% Angsuran PPh 25
    – WP yang KLU nya ada pada Lampiran F PMK-3/PMK.03/2022 mendapatkan fasilitas Pengurangan 50% dari Angsuran PPh Pasal 25 yang seharusnya terutang.
    – KLU yang dijadikan patokan adalah KLU yang tercantum pada Masterfile DJP (bukan berdasarkan SPT Tahunan).
    – WP wajib mengajukan permohonan untuk dapat memanfaatkan insentif Pengurangan 50% PPh Pasal 25 melalui laman djponline.pajak.go.id.
    – Dalam hal terdapat perubahan KLU (KLU sebelumnya memenuhi ketentuan PMK-3/PMK.03/2022 kemudian mengalami perubahan dan KLU baru tidak ada pada Lampiran F PMK-3/PMK.03/2022) maka WP tersebut tidak dapat lagi memanfaatkan Pengurangan 50% Angsuran PPh Pasal 25 terhitung sejak tanggal perubahan KLU.
    – WP dapat memanfaatkan insentif Pengurangan 50% Angsuran PPh Pasal 25 sejak masa Januari 2022 dengan syarat wajib mengajukan permohonan sampai dengan 30 hari terhitung sejak PMK ini berlaku paling lambat tanggal 19 Februari 2022.
    – Apabila WP baru mengajukan permohonan pada tanggal 20 Februaru 2022 atau setelahnya maka dapat memanfaatkan insentif Pengurangan 50% Angsuran PPh Pasal 25 untuk mulai Masa Februari 2022.
    – WP wajib menyampaikan laporan realisasi Pengurangan 50% Angsuran PPh Pasal 25 setiap bulannya paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir melalui laman djponline.pajak.go.id.
    – WP yang akan memanfaatkan insentif pengurangan 50% Angsuran PPh Pasal 25 harus telah menyampaikan SPT Tahunan Tahun Pajak 2020.
    – Jangka waktu pemberian insentif pengurangan 50% angsuran PPh Pasal 25 adalah sampai Masa Pajak Juni 2022.
  3. Insentif PPh Final Jasa Konstruksi
    – PPh Final atas penghasilan yang diterima/diperoleh WP Penerima P3-TGAI (Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi) mendapatkan fasilitas Ditanggung Pemerintah (DTP) sehingga Pengguna Jasa tidak melakukan pemotongan PPh Final.
    – PPh Final DTP tidak diperhitungkan sebagai penghasilan yang dikenakan pajak.
    – Pengguna Jasa wajib menyampaikan laporan realisasi PPh Final DTP untuk setiap Masa Pajak melalui djponline.pajak.go.id.
    – Pengguna Jasa dapat melakukan pembetulan laporan realisasi PPh Final DTP paling lambat 30 September 2022.
    – Pengguna Jasa yang tidak menyampaikan laporan realisasi maka tidak dapat memanfaatkan insentif PPh Final DTP untuk Masa Pajak bersangkutan.
    – Jangka waktu pemberian insentif PPh Final Jasa Konstruksi adalah sampai Masa Pajak Juni 2022.

    WP yang belum menyampaikan laporan realisasi insentif PPh 21 DTP, PPh Final DTP UMKM, dan PPh Final Jasa Konstruksi berdasarkan PMK 149/PMK.03/2021 dapat menyampaikan laporan realisasi paling lambat 31 Maret 2022 untuk dapat memanfaatkan insentif PPh Tahun Pajak 2022.
    WP yang belum menyampaikan Pembetulan laporan realisasi insentif PPh 21 DTP, PPh Final DTP UMKM, dan PPh Final Jasa Konstruksi berdasarkan PMK 149/PMK.03/2021 dapat menyampaikan laporan realisasi paling lambat 31 Maret 2022 untuk dapat memanfaatkan insentif PPh Tahun Pajak 2022.

    WP yang tidak melaporkan laporan realisasi insentif PPh 21 DTP, PPh Final DTP UMKM, dan PPh Final Jasa Konstruksi berdasarkan PMK 149/PMK.03/2021 sampai dengan batas waktu yang ditentukan maka dianggap tidak memanfaatkan insentif untuk Masa Pajak yang belum dilaporkan pada Tahun Pajak 2021.

money-gfb22406fd_1920

Mekanisme Pengkreditan Pajak Masukan

Aturan mengenai mekanisme pengkreditan Pajak Masukan secara khusus diatur di Pasal 9 UU PPN sebagai berikut:

  • Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.
  • Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9) UU PPN.
  • Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak.
  • Sebaliknya, apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya. Atas kelebihan Pajak Masukan ini dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku.

Kelebihan Pajak Masukan di atas dapat diajukan permohonan pengembalian pada setiap Masa Pajak oleh:

  • Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor BKP Berwujud;
  • Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP kepada Pemungut PPN;
  • Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP yang PPN-nya tidak dipungut;
  • Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor BKP Tidak Berwujud;
  • Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor JKP.

Pengkreditan Pajak Masukan tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk:

  • perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
  • perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
  • perolehan BKP atau JKP yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) UU PPN atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP;
  • pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) UU PPN.

Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) Masa Pajak setelah berakhirnya Masa Pajak saat Faktur Pajak dibuat sepanjang belum dibebankan sebagai biaya atau belum ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak serta memenuhi ketentuan pengkreditan.

Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak dengan menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebesar 80% (delapan puluh persen) dari Pajak Keluaran yang seharusnya dipungut.

Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang diberitahukan dan/atau ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan.

Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak sebesar jumlah pokok Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam ketetapan pajak dengan ketentuan ketetapan pajak dimaksud telah dilakukan pelunasan dan tidak dilakukan upaya hukum serta memenuhi ketentuan pengkreditan.

Prinsip pengkreditan Pajak Masukan bersifat sebagai pilihan, artinya jika atas suatu Pajak Masukan bermaksud untuk dikreditkan maka harus memenuhi syarat untuk dapat dikreditkan. Namun saat suatu Pajak Masukan telah memenuhi syarat untuk dapat dikreditkan, PKP tetap dapat memperlakukannya untuk dikreditkan ataupun tidak. Pihak yang dapat mengkreditkan adalah pihak yang identitasnya tertulis sebagai pembeli pada faktur pajak yang dimaksud. Dalam teknis pengkreditan pada aplikasi e-faktur, identitas yang dimaksud adalah digit NPWP yang dituliskan bukan nama pembeli. Hanya pihak yang NPWP-nya tertulis sebagai pembeli yang dapat melakukan pengkreditan atas faktur tersebut.

Perlu dicatat bahwa selain ketentuan mengenai Faktur Pajak Tidak Lengkap yang tidak dapat dikreditkan bagi PKP Pembeli atau Penerima JKP, ketentuan PMK Nomor 151/PMK.03/2013 juga mengatur hal sebagai berikut:

  1. Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PKP setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat, tidak diperlakukan sebagai Faktur Pajak.
  2. PKP yang menerbitkan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada butir a dianggap tidak menerbitkan Faktur Pajak.
  3. PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada butir a tidak dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan.
hands-working-with-office-items

Retur BKP Atau Pembatalan JKP

Berdasarkan ketentuan Pasal 5A ayat (1) UU PPN, PPN atau PPnBM atas penyerahan BKP yang dikembalikan dapat dikurangkan dari PPN atau PPnBM yang terutang dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian BKP tersebut.

Dalam hal BKP yang diserahkan ternyata dikembalikan (retur) oleh pembeli BKP, PPN dan PPnBM dari BKP yang dikembalikan tersebut mengurangi Pajak Keluaran dan PPnBM yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak penjual dan mengurangi:

  1. Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak pembeli, dalam hal Pajak Masukan atas BKP yang dikembalikan telah dikreditkan;
  2. biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak pembeli, dalam hal pajak atas BKP yang dikembalikan tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau
  3. biaya atau harta bagi pembeli yang bukan Pengusaha Kena Pajak dalam hal pajak atas BKP yang dikembalikan tersebut telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut.

Sedangkan ketentuan Pasal 5A ayat (2) UU PPN menyebutkan bahwa PPN atas penyerahan JKP yang dibatalkan, baik seluruhnya maupun sebagian, dapat dikurangkan dari PPN yang terutang dalam Masa Pajak terjadinya pembatalan tersebut. Yang dimaksud dengan “JKP yang dibatalkan” adalah pembatalan seluruhnya atau sebagian hak atau fasilitas atau kemudahan oleh pihak penerima JKP.

Dalam hal JKP yang diserahkan ternyata dibatalkan, baik sebagian maupun seluruhnya oleh penerima JKP, PPN dari JKP yang dibatalkan tersebut mengurangi Pajak Keluaran yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak pemberi JKP dan mengurangi:

  1. Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak penerima JKP, dalam hal Pajak Masukan atas JKP yang dibatalkan telah dikreditkan;
  2. biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak penerima JKP, dalam hal PPN atas JKP yang dibatalkan tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau
  3. biaya atau harta bagi penerima JKP yang bukan Pengusaha Kena Pajak dalam hal PPN atas JKP yang dibatalkan tersebut telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut.
invoice-bill-paid-payment-financial-account-concept

Nota Retur Atau Nota Pembatalan

Ketentuan mengenai tata cara pengurangan PPN atau PPnBM karena BKP yang diretur dan pengurangan PPN karena JKP yang dibatalkan akan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. PMK yang dimaksud adalah PMK Nomor 65/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pengurangan PPN/PPnBM atas BKP yang  Dikembalikan dan PPN atas JKP yang  Dibatalkan.

Lebih lanjut PMK Nomor 65/PMK.03/2010 mengatur bahwa pengembalian BKP dianggap tidak terjadi dalam hal BKP yang dikembalikan diganti dengan BKP yang sama, baik dalam jumlah fisik, jenis maupun harganya.

Dalam hal terjadi pengembalian BKP/pembatalan penyerahan JKP, Pembeli/Penerima Jasa harus membuat dan menyampaikan nota retur/nota pembatalan kepada Pengusaha Kena Pajak Penjual/Pemberi JKP. Nota retur/nota pembatalan paling sedikit harus mencantumkan:

  1. nomor urut nota retur/nota pembatalan;
  2. nomor, kode seri, dan tanggal Faktur Pajak dari BKP yang dikembalikan/JKP yang dibatalkan;
  3. nama, alamat, dan NPWP Pembeli/Penerima Jasa;
  4. nama, alamat, NPWP Pengusaha Kena Pajak Penjual/Pemberi JKP;
  5. jenis barang dan jumlah harga jual BKP yang dikembalikan, atau jenis jasa dan jumlah penggantian JKP yang dibatalkan;
  6. PPN atas BKP yang dikembalikan/JKP yang dibatalkan, atau PPnBM atas BKP yang tergolong mewah yang dikembalikan;
  7. tanggal pembuatan nota retur/nota pembatalan; dan
  8. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani nota retur/nota pembatalan.

Nota retur/nota pembatalan tersebut harus dibuat pada saat BKP dikembalikan/JKP dibatalkan. Mengenai bentuk dan ukuran nota retur/nota pembatalan, dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan administrasi Pembeli/Penerima Jasa. Nota retur/nota pembatalan dibuat paling sedikit dalam rangkap 2 (dua) yaitu:

  1. lembar ke-1: untuk Pengusaha Kena Pajak Penjual/Pemberi JKP;
  2. lembar ke-2: untuk arsip Pembeli/Penerima Jasa.

Dalam hal Pembeli/Penerima Jasa bukan Pengusaha Kena Pajak, nota retur/nota pembatalan  dibuat paling sedikit dalam rangkap 3 (tiga), dan lembar ke-3 harus disampaikan ke KPP tempat Pembeli/Penerima Jasa terdaftar. Pengembalian BKP/pembatalan JKP dianggap tidak terjadi dalam hal:

  1. nota retur/nota pembatalan tidak selengkapnya mencantumkan keterangan yang dipersyaratkan;
  2. nota retur/nota pembatalan tidak dibuat pada saat BKP tersebut dikembalikan/JKP dibatalkan; atau
  3. nota retur/nota pembatalan tidak disampaikan ke KPP dalam hal Pembeli/Penerima Jasa bukan Pengusaha Kena Pajak.

Pengurangan Pajak Keluaran atau PPnBM oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual dan/atau Pengusaha Kena Pajak Pemberi Jasa Kena Pajak dilakukan dalam Masa Pajak saat terjadinya Pengembalian BKP atau Pembatalan JKP. Sementara, pengurangan Pajak Masukan, pengurangan harta, atau pengurangan biaya, oleh Pembeli/Penerima Jasa dilakukan dalam Masa Pajak saat terjadinya pengembalian BKP atau Pembatalan JKP.

Teknis pembuatan Nota Retur dilakukan oleh pihak konsumen menggukanan aplikasi e-faktur. Dalam SPT Masa PPN pihak konsumen akan mencatat retur tersebut sebagai retur pajak masukan. Selanjutnya Nota Retur diberikan kepada pihak penerbit faktur yang diretur atau penjual. Dalam SPT Masa PPN pihak penjual akan mencatat retur tersebut sebagai retur pajak keluaran. Dalam hal konsumen bukan berstatus sebagai PKP maka Nota Retur dibuat secara manual.