woman-doing-accounting

Faktur Pajak Tidak Lengkap

Dalam Pasal 13 ayat (9) UU PPN disebutkan bahwa:  ‘Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material.’ Dalam memori penjelasannya secara lebih rinci dikatakan bahwa Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisi lengkap, jelas, dan benar sesuai dengan ketentuan (Pasal 13 ayat (5) dan (6) UU PPN). Sedangkan Faktur Pajak dikatakan telah memenuhi persyaratan material apabila keterangan yang tercantum didalamnya sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP, ekspor BKP Berwujud, ekspor BKP Tidak Berwujud, ekspor JKP, impor BKP, atau pemanfaatan JKP dan pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

Adapun menurut UU KUP yang mengatur masalah sanksi administrasi perpajakan, ketentuan terkait dapat temukan di Pasal 14 UU KUP. Dimana disebutkan bahwa Dirjen Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) apabila pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP tidak mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN. Akan tetapi, sanksi di atas tidak akan dikenakan untuk Faktur Pajak yang tidak memuat keterangan terbatas mengenai:

  • Nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP; atau
  • Nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP, dan nama dan tandatangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak untuk Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran.

Sebutan Faktur Pajak Tidak Lengkap sendiri secara formal dapat ditemukan di PER-24/PJ/2012. Justru di PMK Nomor  84/PMK.03/2012 yang menjadi konsideran PER-24/PJ/2012 istilah tersebut tidak disinggung sama sekali. Menurut PER-24/PJ/2012, yang dimaksud Faktur Pajak Tidak Lengkap adalah Faktur Pajak yang tidak mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN  dan/atau mencantumkan keterangan tidak sebenarnya atau sesungguhnya dan/atau mengisi keterangan yang tidak sesuai dengan tata cara dan prosedur yang telah diatur.

Secara jelas ketentuan dalam PER-24/PJ/2012 mengatur sebagai berikut:

  • PKP yang membuat Faktur Pajak dengan menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak ganda atau Nomor Seri Faktur Pajak yang sama lebih dari 1 (satu) dalam tahun pajak yang sama, maka seluruh Faktur Pajak dengan Nomor Seri Faktur Pajak tersebut dianggap sebagai Faktur Pajak Tidak Lengkap.
  • PKP yang melakukan pengisian Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang tidak sesuai dengan tata cara dan prosedur yang telah diatur, maka Faktur Pajak yang diterbitkan merupakan Faktur Pajak Tidak Lengkap.
  • PKP yang tidak atau terlambat menyampaikan pemberitahuan kepada KPP tempat PKP dikukuhkan atau tempat pemusatan PPN terutang dilakukan, maka Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PKP sampai dengan diterimanya pemberitahuan merupakan Faktur Pajak Tidak Lengkap.
  • PKP yang menerbitkan Faktur Pajak Tidak Lengkap dikenai sanksi administrasi sesuai dengan Pasal 14 ayat (4) UU KUP.
  • PKP Pembeli BKP atau Penerima JKP tidak dapat mengkreditkan PPN yang tercantum di dalam Faktur Pajak Tidak Lengkap sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (2b) dan ayat (8) huruf f UU PPN.

Dengan dikeluarkannya Per-31/PJ/2017, terdapat tambahan kelengkapan informasi dalam faktur pajak khususnya untuk faktur pajak yang diterbitkan kepada pembeli yang tidak memiliki NPWP, yaitu tambahan informasi NIK dan/atau nomor Paspor.

Perlu diperhatikan bahwa penerbitan faktur pajak untuk transaksi dengan konsumen yang tidak memiliki NPWP berbeda dengan transaksi yang dilakukan secara eceran.

Business people discussing issues in office and big QR code. Identification, workflow, analytics concept. Vector illustration can be used for topics like business, finance, analysis

Aplikasi Elektronik Faktur dan QR Code

Sesuai dengan Per-16/PJ/2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik, saat ini pembuatan faktur pajak harus menggunakan aplikasi elektronik yang biasa disebut dengan e-faktur. Tidak ada perbedaan yang terlalu jauh dalam penerbitan faktur secara elektronik kecuali teknis penerbitannya saja.

Poin penting dari penggunaan aplikasi e-faktur adalah adanya proses upload data faktur pajak kepada server DJP. Upload data merupakan proses konfirmasi dari PKP terhadap isian data dalam faktur pajaknya untuk dicocokkan, divalidasi, dan diketahui oleh DJP. Jika data telah sesuai dengan standar aturan pembuatan faktur pajak, misalnya dalam hal penggunaan jatah NSFP, maka DJP akan memberikan persetujuan pada faktur yang di-upload tadi berupa pemberian status Approval dalam bentuk QR Code yang akan menempel pada faktur pajak saat dicetak.

QR Code ini adalah salah satu bentuk pengaman pada data faktur, khususnya sisi keamanan dari sisi pembeli sebagai pengguna faktur. Pembeli yang telah melakukan transaksi dan membayar PPN melalui penjual nantinya akan melakukan pengkreditan Pajak Masukan, jika data Pajak Masukan ini tidak valid atau ada penyalahgunaan oleh penjual maka dari sisi pembeli akan sangat dirugikan. Dari sisi lain, DJP juga akan mendapatkan informasi transaksi yang lebih realtime dan dapat lebih mudah melakukan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban yang dilakukan oleh penjual.

Dalam teknis penggunaan aplikasi e-faktur, PKP harus terlebih dahulu melakukan beberapa persiapan dan kemudian memperhatikan tata cara penggunaannya agar terhindar dari kendala-kendala teknis. Urutan tahapan yang harus dilakukan PKP untuk menggunakan aplikasi e-faktur yaitu:

  1. Memperoleh kode aktivasi dan password enofa,
  2. Memperoleh Sertifikat Elektronik dan passphrase,
  3. Memperoleh jatah NSFP yang akan digunakan, permohonan untuk mendapatkan jatah NSFP dapat dilakukan secara manual ataupun elektronik,
  4. Menjalankan aplikasi e-faktur yang sesuai dengan tipe Operating System pada komputer yang digunakan,
  5. Melakukan proses register etaxinvoice dan register user pada aplikasi e-faktur,
  6. Aplikasi e-faktur siap digunakan.

Secara prinsip, Faktur Penjualan yang telah memuat keterangan sesuai dengan keterangan yang disyaratkan dan pengisiannya telah sesuai dengan tata cara yang ditentukan dipersamakan dengan Faktur Pajak. Adapun yang dimaksud dengan dokumen tertentu yang dipersamakan dengan Faktur Pajak di sini adalah dokumen sebagaimana disebutkan di Pasal 13 ayat (6) UU PPN.

Ketentuan Pasal 13 ayat (6) UU PPN menyebutkan bahwa Dirjen Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak. Hal ini dilakukan terhadap dokumen yang biasa digunakan dalam dunia usaha sehingga untuk tujuan efisiensi kedudukannya dapat dipersamakan dengan Faktur Pajak.

Ketentuan ini diperlukan, antara lain karena:

  1. faktur penjualan yang digunakan oleh pengusaha telah dikenal oleh masyarakat luas, seperti kuitansi pembayaran telepon dan tiket pesawat udara;
  2. untuk adanya bukti pungutan pajak harus ada Faktur Pajak, sedangkan pihak yang seharusnya membuat Faktur Pajak, yaitu pihak yang menyerahkan BKP atau JKP, berada di luar Daerah Pabean, misalnya, dalam hal pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean, Surat Setoran Pajak (SSP) dapat ditetapkan sebagai Faktur Pajak; dan
  3. Terdapat dokumen tertentu yang digunakan dalam hal impor atau ekspor BKP Berwujud.
  4. Dokumen-dokumen yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sesuai dengan PER-10/PJ/2010 stdtd. PER-33/PJ/2014 adalah sebagai berikut:
    a. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah diberikan persetujuan ekspor oleh pejabat yang berwenang dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan dilampiri dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PEB tersebut;
    b. Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat/dikeluarkan oleh Bulog/DOLOG untuk penyaluran tepung terigu;
    c. Paktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuatkan/dikeluarkan oleh PERTAMINA untuk penyerahan Bahan Bakar Minyak dan/atau bukan Bahan Bakar Minyak, dokumen ini dialihkan menjadi pembauatan faktur pajak sejak terbitnya Per-26/PJ/2017 berlaku mulai 1 Januari 2018;
    d. Bukti tagihan atas penyerahan jasa telekomunikasi oleh perusahaan telekomunikasi;
    e. Tiket, tagihan Surat Muatan Udara (Airway Bill), atau Delivery Bill, yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri;
    f. Nota Penjualan Jasa yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa kepelabuhanan;
    g. Bukti tagihan atas penyerahan listrik oleh perusahaan listrik;
    h. Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak/Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang dilampiri dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak/Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, untuk ekspor Jasa Kena Pajak/Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
    i. Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang mencantumkan identitas pemilik barang berupa nama, alamat dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan dilampiri dengan Surat Setoran Pajak, Surat Setoran Pabean, Cukai dan Pajak (SSPCP), dan/atau bukti pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mencantumkan identitas pemilik barang berupa nama, alamat dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PIB tersebut, untuk impor Barang Kena Pajak;
    j. Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar daerah Pabean.
    k. Buktitagihan atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh Perusahaaan Air Minum;
    l. Bukti tagihan (Trading Confirmation) atas penyerahan Jasa Kena Pajak oleh perusahaan perantara efek;
    m. Bukti tagihan atas penyerahan Jasa Kena Pajak oleh perbankan; dan
    n. Surat Setoran Pajak untuk pembayaran PPN atas penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang disertai dengan Risalah Lelang.
3883064

Faktur Pajak PKP Pedagang Eceran

PKP Pedagang Eceran yang selanjutnya disebut PKP PE adalah PKP yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan cara sebagai berikut: (Pasal 20 PP 1 Tahun 2012)

  1. melalui suatu tempat penjualan eceran seperti toko dan kios atau langsung mendatangi dari satu tempat konsumen akhir ke tempat konsumen akhir lainnya.
  2. dengan cara penjualan eceran yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir, tanpa didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang; dan
  3. pada umumnya penyerahan atau transaksi jual beli dilakukan secara tunai dan penjual langsung menyerahkan Barang Kena Pajak atau pembeli langsung membawa Barang Kena Pajak yang dibelinya.

Faktur Pajak yang dibuat oleh PKP PE berupa: bon kontan, faktur penjualan, segi cash register, karcis, kuitansi, atau tanda bukti penyerahan atau pembayaran lain yang sejenis.

Dengan Ketentuan paling sedikit harus memuat keterangan: (dengan ketentuan harus diisi dengan lengkap, jelas, dan benar)

  1. nama, alamat, dan NPWP yang menyerahkan BKP;
  2. jenis BKP yang diserahkan;
  3. jumlah Harga Jual yang sudah termasuk PPN atau besarnya PPN dicantumkan secara terpisah;
  4. PPnBM yang dipungut; dan
  5. kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak.

Kode dan nomor seri Faktur Pajak dapat berupa nomor nota, kode nota, atau ditentukan sendiri oleh PKP PE.  FP yang dibuat oleh PKP PE ini dilaporkan di SPT Masa PPN 1111 AB di kolom I.B.2 (Penyerahan Dalam Negeri dengan FP yang digunggung). Pabrikan atau Distributor yang memiliki Outlet sehingga memenuhi criteria Pedagang Eceran, atas penyerahan BKP secara eceran, PKP dapat membuat Faktur Pajak untuk PKP PE (SE-137/PJ/2010 butir 4).

Finance. Accounting documents on the table

SAAT TERHUTANGNYA PPN

Pemungutan PPN menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan BKP atau JKP meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima atau pada saat impor BKP. Saat terutangnya pajak untuk transaksi yang dilakukan melalui electronic commerce pun tunduk pada ketentuan PPN ini.

Saat terutangnya PPN sebagaimana diatur dalam  Pasal 11 UU PPN adalah pada saat:

  1. penyerahan BKP;
  2. impor BKP;
  3. penyerahan JKP;
  4. pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;
  5. pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean;
  6. ekspor BKP Berwujud;
  7. ekspor BKP Tidak Berwujud; atau
  8. ekspor JKP.

Saat pajak terutang ini diartikan sebagai saat mulai timbulnya utang pajak, sehingga bukan batas akhir pembayaran pajak (atas jumlah kekurangan bayar) ke kas negara.

Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau sebelum penyerahan JKP atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran.

Khusus untuk orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean atau memanfaatkan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, terutangnya pajak terjadi pada saat orang pribadi atau badan tersebut mulai memanfaatkan BKP Tidak Berwujud atau JKP tersebut di dalam Daerah Pabean. Hal itusehubungan dengan kenyataan bahwa yang menyerahkan BKP Tidak Berwujud atau JKP tersebut berada di luar Daerah Pabean sehingga tidak dapat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Oleh karena itu, saat pajak terutang tidak lagi dikaitkan dengan saat penyerahan, tetapi dikaitkan dengan saat pemanfaatan.

Saat terutangnya PPN akan menjadi patokan waktu yang menentukan saat pembuatan dokumen bukti pemungutan PPN atau faktur pajak. Atas keterlambatan penerbitan dokumen akan mengakibatkan risiko denda Pasal 14 ayat (4) KUP, yaitu denda keterlambatan pembuatan faktur pajak dengan nilai 2% dari Dasar Pengenaan Pajak.

Dalam prakteknya, sangat dimungkinkan penyerahan BKP dilakukan dengan berbagai cara yang unik, misalnya BKP diserahkan dengan durasi waktu pengiriman sampai beberapa bulan. Atas kondisi tersebut kapan saat penyerahan BKP terjadi?

Pendekatan yang dapat dilakukan dalam kondisi tersebut adalah menentukan waktu tanggung jawab atau kepemilikan atas BKP tersebut berpindah tangan. Pada saat itulah dapat disimpulkan sebagai saat terutang PPN. Atau dalam hal BKP baru dapat digunakan setelah proses instalasi tertentu, maka saat terutang adalah saat BKP telah siap untuk digunakan

Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan saat lain sebagai saat terutangnya pajak dalam hal saat terutangnya pajak sukar ditetapkan atau terjadi perubahan ketentuan yang dapat menimbulkan ketidakadilan.

Businesspeople working in finance and accounting Analyze financial graph budget and planning for future in office room.

PEMUSATAN TEMPAT PPN TERUTANG

  1. Prinsip Dasar PPN

Pada dasarnya UU PPN menganut prinsip desentralisasi, artinya PPN terutang di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha dilakukan atau tempat lain yang ditetapkan Dirjen Pajak (Pasal 12 ayat (1) UU PPN). Dengan kata lain, apabila Pengusaha memiliki tempat kegiatan usaha lebih dari satu (memiliki kantor cabang atau perwakilan,lokasi usaha, perwakilan, unit pemasaran dan sejenisnya) yang berada di wilayah KPP yang berbeda, maka masing-masing tempat kegiatan usaha tersebut harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1A ayat (1) huruf f UU PPN penyerahan BKP dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP antar Cabang termasuk dalam pengertian penyerahan BKP. Namun demikian, penyerahan BKP tersebut tidak akan terutang PPN apabila Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan telah memperoleh ijin pemusatan tempat PPN terutang. Jadi, dalam hal Pengusaha Kena Pajakmempunyai lebih dari  satu  tempat  usaha,  baik  sebagai  pusat  maupun cabang-cabang perusahaan, dan Pengusaha Kena Pajaktersebut telah memperoleh ijin pemusatan tempat pajak terutang dari Dirjen Pajak, maka pemindahan BKP dari satu tempat usaha ke tempat usaha lainnya (pusat ke cabang atau sebaliknya, atau antar cabang) dianggap tidak termasuk dalam pengertian penyerahan BKP, kecuali pemindahan BKP antartempat pajak terutang.

Pada mulanya, pemusatan (sentralisasi) tempat terutang PPN ini hanya diberikan kepada Pengusaha Kena Pajakyang mengajukan permohonan kepada Dirjen Pajak yang secara formal dan material telah memenuhi persyaratan. Namun, dalam perjalanan selanjutnya, sejalan dengan pengembangan sistem administrasi modern di beberapa KPP, sentralisasi tempat terutang PPN ini menjadi suatu keharusan bagi Pengusaha Kena Pajakyang terdaftar di KPP-KPP tertentu, yaitu yang terdaftar di KPP WP Besar, KPP Madya dan Pengusaha Kena Pajak yang terdaftar di KPP di lingkungan Kanwil Khusus.

  1. Syarat Dan Ketentuan Pemusatan PPN

Bagi Pengusaha Kena Pajaklainnya, aturan yang menjadi rujukan formal terkait dengan sentralisasi ini adalah PER-19/PJ/2010 tentang Penetapan Satu Tempat atau Lebih Sebagai Tempat PPN Terutang. Dalam PER-19/PJ/2010 tersebut antara lain diatur sebagai berikut:

  1. Pengusaha Kena Pajak yang memiliki lebih dari satu tempat PPN terutang dapat memilih 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat pemusatan PPN terutang. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak memilih 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat pemusatan PPN terutang, Pengusaha Kena Pajak dimaksud harus menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kanwil DJP dengan tembusan kepada Kepala KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat-tempat PPN terutang yang akan dipusatkan.
  2. Pemberitahuan secara tertulis harus memenuhi persyaratan:
    • memuat nama, alamat, dan NPWP tempat PPN terutang yang dipilih sebagai tempat pemusatan;
    • memuat nama, alamat, dan NPWP tempat PPN terutang yang akan dipusatkan;dan
    • dilampiri surat pernyataan bahwa administrasi penjualan diselenggarakan secara terpusat pada tempat PPN terutang yang dipilih sebagai tempat pemusatan.
  1. Kepala Kanwil atas nama Dirjen Pajak dalam jangka waktu paling lama 14 hari kerja sejak diterimanya pemberitahuan menerbitkan:
    • Surat Keputusan (SK) Dirjen Pajak tentang Persetujuan Pemusatan Tempat PPN Terutang, dalam hal pemberitahuan telah memenuhi persyaratan (berlaku mulai masa pajak berikutnya setelah tanggal penerbitan SK); atau
    • Surat Pemberitahuan Penolakan Pemusatan Tempat PPN Terutang, dalam hal pemberitahuan tidak memenuhi persyaratan.
  2. Dalam hal terdapat penambahan tempat PPN terutang yang akan dipusatkan atau pengurangan tempat PPN terutang yang telah dipusatkan, Pengusaha Kena Pajak yang telah mendapatkan persetujuan pemusatan tempat PPN terutang wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepadaKepala Kanwil DJP. Demikian pula apabilaingin memilih tempat PPN terutang yang lain sebagai tempat pemusatan yang baru, Pengusaha Kena Pajak wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertuliskepada Kepala Kanwil DJP. Namun untuk yang terakhir ini, hanya diperkenankan setelah jangka waktu 2 tahun sejak masa pajak dimulainya pemusatan PPN terutang.
  3. Pengusaha Kena Pajak yang telah melaksanakan pemusatan PPN terutang dapat menyampaikan pemberitahuan secara tertulis tentang pencabutan pemusatan tempat PPN terutang kepada Kepala Kanwil DJP. Pemberitahuan ini harus disampaikan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum masa pajak dimana Pengusaha Kena Pajak tidak lagi menginginkan tempat-tempat PPN terutang dipusatkan, dengan tembusan kepada Kepala KPP tempat-tempat Pengusaha Kena Pajak terdaftar yang semula dipusatkan. Kepala Kanwil atas nama Dirjen Pajak dalam jangka waktu paling lama 5 hari kerja sejak diterimanya pemberitahuan akan menerbitkan SK Dirjen Pajak tentang Pencabutan Pemusatan Tempat PPN Terutang.
  4. Pengusaha Kena Pajak yang telah melaksanakan pemusatan PPN terutang dapat memperpanjang atau tidak memperpanjang jangka waktu pemusatan tempat PPN terutang dan harus menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kanwil DJP. Pemberitahuan ini disampaikan selambat-lambatnya 2 bulan sebelum batas waktu persetujuan pemusatan PPN terutang berakhir. Kepala Kanwil atas nama Dirjen Pajak dalam jangka waktu paling lama 14 hari sejak diterimanya pemberitahuan akan menerbitkan SK Dirjen Pajak tentang Persetujuan Pemusatan Tempat Terutang yang baru. Namun, dalam hal batas waktu paling lama 2 bulan di atas terlampaui danPengusaha Kena Pajak tidak menyampaikan pemberitahuan dimaksud,Pengusaha Kena Pajak dianggap tidak memperpanjang jangka waktu pemusatan PPN terutang.
  5. Tidak dapat dipilih sebagai tempat pemusatan PPN terutang atau tempat PPN terutang yang akan dipusatkan adalah tempat tinggal, tempat kedudukan, atau tempat kegiatan usaha Pengusaha Kena Pajak yang:
    • berada di Kawasan Berikat;
    • berada di Kawasan Ekonomi Khusus;
    • mendapatkan fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor.
4091286

Petunjuk Penggunaan Kode Dan Nomor Seri Faktur Pajak

  1. Penggunaan 2 (dua) digit pertama Kode Transaksi, adalah sebagai berikut:
Kode Transaksi Digunakan untuk
 

01

Penyerahan BKP dan/atau JKP yang terutang PPN dan PPNnya dipungut oleh PKP Penjual yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP.Kode ini digunakan dalam hal bukan merupakan jenis penyerahan sebagaimana dimaksud pada kode 04 s.d. kode 09.
02 Penyerahan kepada Pemungut PPN Bendahara Pemerintah.
 

 

 

03

Penyerahan kepada Pemungut PPN Lainnya.Pemungut PPN Lainnya selain Bendahara Pemerintah, dalam hal ini adalah Kontraktor Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Minyak dan Gas, Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi, Badan Usaha Milik Negara atau Wajib Pajak lainnya yang ditunjuk sebagai Pemungut PPN, termasuk perusahaan yang tunduk terhadap Kontrak Karya Pertambangan yang di dalam kontrak tersebut secara lex specialist ditunjuk sebagai Pemungut PPN.
 

04

Penyerahan BKP dan/atau JKP yang menggunakan DPP Nilai Lain yang PPN-nya dipungut oleh PKP Penjual yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP.
05 Tidak digunakan lagi sejak 1 April 2010.
06 Penyerahan Lainnya kepada selain Pemungut PPN dan penyerahan kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri (turis asing).
07 Penyerahan BKP dan/atau JKP yang mendapat fasilitas PPN Tidak Dipungut atau Ditanggung Pemerintah (DTP).
08 Digunakan untuk penyerahan yang Dibebaskan dari pengenaan PPN/PPnBM kepada selain Pemungut PPN.
09 Digunakan untuk penyerahan Aktiva Pasal 16D kepada selain Pemungut PPN.

Penentuan penggunaan Kode Transaksi diatas sepenuhnya menjadi tanggung jawab PKP. Kekeliruan penentuan Kode Transaksi akan berakibat pada kekeliruan penghitungan PPN terutang. Dalam hal pada suatu kondisi ditemukan irisan atas penggunaan dua Kode Transaksi maka kode nomor 02 dan 03 harus lebih diprioritaskan, selanjutnya adalah kode yang lain kecuali kode 01, dan pada akhirnya jika kondisi tidak bisa dikategorikan pada kode 02 sampai 09 maka kode 01 menjadi alternatif terakhir yang dapat dipilih.

2. Penggunaan 1 (satu) digit berikutnya Kode Status, adalah sebagai berikut:

Kode Status Digunakan untuk
0 Status Normal
1 Status Penggantian

Ketentuan Mengenai Pejabat Yang Berhak Menandatangani Faktur Pajak

  • PKP wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis nama PKP atau pejabat/pegawai yang berhak menandatangani Faktur Pajak disertai dengan contoh tandatangannya, dengan melampirkan fotokopi kartu identitas pejabat/pegawai penandatangan Faktur Pajak yang sah yang telah dilegalisasi pejabat yang berwenang kepada Kepala KPP paling lama pada akhir bulan berikutnya sejak bulan pejabat/pegawai tersebut mulai melakukan penandatanganan Faktur Pajak.
  • Nama yang berhak menandatangani Faktur Pajak harus diisi sesuai dengan kartu identitas yang sah, yaitu Kartu Tanda Penduduk, Surat Izin Mengemudi, atau Paspor, yang berlaku pada saat Faktur Pajak ditandatangani.
  • PKP dapat menunjuk lebih dari 1 (satu) orang Pejabat untuk menandatangani Faktur Pajak.
  • Dalam hal terjadi perubahan pejabat/pegawai yang berhak menandatangani Faktur Pajak, maka PKP wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atas perubahan tersebut kepada Kepala KPP paling lambat pada akhir bulan berikutnya sejak bulan pejabat/pegawai pengganti mulai menandatangani Faktur Pajak.
  • Dalam hal PKP melakukan pemusatan tempat PPN terutang, maka pejabat/pegawai yang telah ditunjuk di tempat-tempat kegiatan usaha sebelum pemusatan masih dapat menandatangani Faktur Pajak yang diterbitkan setelah pemusatan yang dicetak di tempat-tempat kegiatan usaha masing-masing.
Students learning foreign language with vocabulary. Tiny people reading grammar book. Flat vector illustration for abc book, literature class, knowledge concept

PENGERTIAN, DASAR HUKUM DAN SAAT PEMBUATAN FAKTUR PAJAK

Pengertian Faktur Pajak di dalam Pasal 1 angka 23 UU PPN dirumuskan sebagai berikut:

“Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.”

Dalam hal terjadi penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP, Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan BKP dan/atau menyerahkan JKP itu wajib memungut PPN yang terutang dan memberikan Faktur Pajak sebagai bukti pungutan pajak. Fungsi Faktur Pajak selengkapnya adalah sebagai:

  • Bukti pungutan PPN bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan BKP/JKP;
  • Bukti pembayaran PPN bagi Pengusaha Kena Pajakpembeli BKP/JKP;
  • Sarana pengkreditan Pajak Masukan;
  • Dasar pembuatan Nota Retur/Nota Pembatalan.

1. Dasar Hukum Pembuatan Faktur Pajak

Dasar hukum pembuatan Faktur Pajak diatur dengan jelas di Pasal 13 ayat (8) UU PPNdan PMK Nomor 151/PMK.03/2013, dimana disebutkan bahwa Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:

  1. penyerahan BKP di dalam daerah Pabean dan/atau penyerahan BKP menurut Pasal 16D UU PPN;
  2. penyerahan JKPdi dalam daerah Pabean;
  3. ekspor BKP berwujud;
  4. ekspor BKP tidak berwujud; dan/ atau
  5. ekspor JKP.

Faktur Pajak tidak perlu dibuat secara khusus atau berbeda dengan faktur penjualan. Faktur Pajak dapat berupa faktur penjualan atau dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak.

2. Saat Pembuatan Faktur Pajak

Sedangkan di aturan yang lebih teknis, yaitu PER-24/PJ/2012stdtd. PER-17/PJ/2014 mengatur bahwa Faktur Pajak harus dibuat pada:

  1. saat penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP;
  2. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan BKP dan/atau JKP;
  3. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
  4. saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendahara Pemerintah sebagai Pemungut PPN; atau
  5. saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Jadi pada prinsipnya Faktur Pajak harus dibuat pada saat penyerahan atau pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum penyerahan. Dalam hal tertentu dimungkinkan saat pembuatan Faktur Pajak tidak sama dengan saat-saat tersebut, misalnya dalam hal terjadi penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP kepada bendahara pemerintah.

Dikecualikan dari ketentuan di atas, dengan maksud untuk meringankan beban administrasi, kepada Pengusaha Kena Pajak diperkenankan untuk membuat 1 (satu) Faktur Pajak yang meliputi semua penyerahan BKP atau penyerahan JKP yang terjadi selama 1 (satu) bulan kalender kepada pembeli yang sama atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama, yang disebut Faktur Pajak gabungan. Untuk Faktur Pajak gabungan ini harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan BKP dan/atau JKP.

3. Saat Lain Sebagai Saat Pembuatan Faktur Pajak

Berdasarkan PMK Nomor 238/PMK.03/2012, telah diatur saat lain sebagai saat pembuatan Faktur Pajak atas penyerahan BKP dengan karakteristik tertentu. BKP dengan karakteristik tertentu tersebut adalah BKP yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

  1. Harga Jual dari Barang Kena Pajak tersebut mengalami fluktuasi menyesuaikan harga acuan/standar yang berlaku di pasar domestik maupun pasar internasional;
  2. Kualitas atau kadar kandungan berharga di dalam Barang Kena Pajak tersebut dapat berubah dalam proses pengiriman atau transportasi dari pihak penjual ke pihak pembeli yang disebabkan oleh cuaca atau iklim tertentu secara normal dan tidak disebabkan karena kerusakan pengiriman atau kelalaian dalam proses pengiriman atau transportasi dari pihak penjual ke pihak pembeli atau bencana alam; dan/atau
  3. Kuantitas baik berupa tonase, volume atau satuan lainnya dapat mengalami perubahan dalam proses pengiriman atau transportasi dari pihak penjual ke pihak pembeli yang disebabkan oleh cuaca atau iklim tertentu secara normal dan tidak disebabkan karena kerusakan pengiriman atau kelalaian dalam proses pengiriman atau transportasi dari pihak penjual ke pihak pembeli atau bencana alam.

Termasuk dalam kategori Barang Kena Pajak dengan karakteristik tertentu di atas adalah BKP berupa konsentrat produk pertambangan yang mengandung kadar mineral dan bahan/produk kimia.

Saat pembuatan Faktur Pajak atas penyerahan BKP dengan karakteristik tertentu di atas ditetapkan dengan batas waktu paling lambat pada saat pendapatan dari transaksi atas penyerahan BKP tersebut secara keseluruhan sudah dapat dihitung secara final.Namun, dalam hal sampai dengan batas waktu dimaksud terjadi penerimaan pembayaran, atas pembayaran tersebut wajib dibuat Faktur Pajak pada saat penerimaan pembayaran.

Sebagai catatan perlu diperhatikan bahwa ketentuan mengenai pembuatan Faktur Pajak untuk BKP dengan karakteristik tertentu di atas hanya berlaku dalam hal perjanjian jual beli atas penyerahan BKP dengan karakteristik tertentu tersebut memuat ketentuan sebagai berikut:

  1. menyatakan bahwa hak atas Barang Kena Pajak berpindah ke pihak pembeli setelah dikirimkan dari tempat penjual; dan
  2. terdapat klausul tentang perubahan nilai tagihan akibat perubahan harga jual, perubahan kualitas dan/atau perubahan kuantitas Barang Kena Pajak, sehingga perlu dilakukan penyesuaian faktur komersial (commercial invoice).
Tiny people preparing invoice on computer isolated flat vector illustration. Cartoon accountants creating reports about VAT, payroll and paid money. Online payment and accounting concept

Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak

Format Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak terdiri dari 16 digit, yaitu:

  1. 2 (dua) digit pertama adalah Kode Transaksi;
  2. 1 (satu) digit berikutnya adalah Kode Status; dan
  3. 13 (tiga belas) digit berikutnya adalah Nomor Seri Faktur Pajak.

Format Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak secara keseluruhan menjadi sebagai berikut:

Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP dikukuhkan akan memberikan jatah nomor seri Faktur Pajak ke PKP sesuai dengan tata cara yang telah ditentuka arena mulai 1 April 2013 penerbitan Nomor Seri Faktur Pajak dilakukan secara otomatis melalui sistem di Ditjen Pajak. Dengan demikian, sebelum membuat Faktur Pajak para PKP harus mengajukan permintaan Nomor Seri Faktur Pajak ke KPP tempat dikukuhkannya.

Ilustrasi: jatah 30 (tiga puluh) NSFP didapatkan PKP pada tanggal 1 Februari 2018 dengan nomor 999.18.00000010 sampai 999.18.00000039. PKP hanya dapat menerbitkan faktur pajak dengan nomor yang tersedia pada range jatah NSFP tersebut dengan penggunaan nomor tanpa harus berurutan dimulai dari yang kecil. Perlu diperhatikan lebih lanjut bahwa dengan jatah NSFP tersebut tanggal faktur pajak hanya dapat dibuat untuk tanggal 1 Februari sampai 31 Desember 2018. Jika PKP sebelum memperoleh jatah NSFP telah melakukan penyerahan BKP/JKP maka faktur pajak tetap hanya bisa diterbitkan paling cepat pada tanggal 1 Februari 2018. Hal ini akan mengakibatkan keterlambatan pembuatan faktur karena tanggal faktur melebihi tanggal penyerahan. Jadi untuk menghindari risiko keterlambatan penerbitan faktur, PKP harus selalu mempunyai stok jatah NSFP sebelum melakukan penyerahan BKP/JKP.

Selain itu, ada kewajiban bagi setiap PKP untuk melaporkan Nomor Seri Faktur Pajak yang tidak digunakan dalam suatu tahun pajak (bila ada) ke KPP tempat PKP dikukuhkan bersamaan dengan penyampaian SPT Masa PPN Masa Pajak Desember tahun pajak yang bersangkutan dengan menggunakan formulir sesuai ketentuan ketentuan yang berlaku.

 

Business woman working teamwork process, Business team using a calculator to calculate the numbers of statistic business profits growth rate on documents graph data, his desk in a office.

PENAMBAHAN KLU INSENTIF PEMBEBASAN PPh 22 IMPOR, PENGURANGAN ANGSURAN PPh 25, DAN RESTITUSI PPN

Akhirnya diterbitkan juga Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 149/PMK.03/2021 tanggal 25 Oktober 2021 atas insentif pajak untuk Wajib Pajak terdampak pandemi Covid-19. Aturan tersebut dikeluarkan pada tanggal 2 November 2021. Pada aturan tersebut Pemerintah menambah KLU penerima insentif Pembebeasan PPh 22 Impor dari semula hanya 132 KLU menjadi 397 KLU. Selain itu penerima insentif Pengurangan 50% Angsuran PPh 25 juga mengalami perubahan dari 216 menjadi 481 KLU. Penerima insentif Pengembalian Pendahuluan Restitusi PPN pun juga mengalami perubahan dari 132 KLU menjadi 397. Sedangkan total penerima insentif PPh 21 DTP tidak mengalami perubahan.

Bagi Wajib Pajak KLU tambahan yang masuk dalam kriteria PMK 149/PMK.03/2021 hanya berhak memanfaatkan insentif Pembebasan PPh 22 Impor, Pengurangan 50% Angsuran PPh 23, dan/atau Pengembalian Pendahuluan Restitusi PPN mulai Masa Pajak Oktober – Desember 2021.

WP yang dapat memanfaatkan insentif Pengurangan 50% Angsuran PPh 25 berdasar PMK 149/PMK.03/2021 wajib menyampaikan pemberitahuan sampai dengan tanggal 15 November 2021.

Melalui peraturan ini pun pemerintah memperpanjang masa pelaporan Pembetulan Laporan Realisasi Masa Pajak Januari-Juni 2021 atas PPh 21 DTP, PPh Final DTP, PPh Final Jasa Kontruksi paling lambat 30 November 2021.

Bagi Wajib Pajak yang akan memanfaatkan insentif Pengembalian Pendahuluan Restitusi PPN (Pasal 9 ayat 4c) berdasarkan PMK 149/PMK.03/2021 dapat menyampaikan SPT PPN Masa Oktober – Desember 2021 paling lambat 31 Januari 2022. SPT PPN Normal atau Pembetulan yang diberikan fasilitas insentif Pengembalian Pendahuluan Restitusi PPN antara lain:

  1. Masa Pajak Januari – Juni 2021 bagi PKP yang mendapatkan insentif berdasarkan PMK 9/PMK.03/2021 yang harus disampaikan SPTnya paling lambat tanggal 31 Juli 2021
  2. Masa Pajak Juli – Desember 2021 bagi PKP yang mendapatkan insentif berdasarkan PMK 82/PMK.03/2021 yang harus disampaikan paling lambat tanggal 31 Januari 2022
Accountant calculating profit with financial analysis graphs. Notebook, glasses and calculator lying on desk. Accountancy concept. Cropped view.

DASAR PENGENAAN PAJAK: NILAI LAIN

Saat ini, Dasar Pengenaaan Pajak (DPP) Nilai Lain diatur dalam PMK Nomor 75/PMK.03/2010stdtd. PMK Nomor 121/PMK.03/2015, PMK Nomor 102/PMK.011/2011, dan PMK Nomor 30/PMK.03/2014, yaitu dapat dirinci sebagai berikut:

  1. Pemakaian Sendiri:
    DPP = Harga Pokok (Harga Jual atau Penggantian dikurangi laba kotor)
    PPN = 10% x Harga Pokok Penjualan
  2. Pemberian Cuma-Cuma:
    DPP = Harga Pokok (Harga Jual atau Penggantian dikurangi laba kotor)
    PPN = 10% x Harga Pokok Penjualan
  3. Penyerahan Film Cerita:
    DPP = Perkiraan hasil rata-rata perjudul film
    PPN = 10% x perkiraan hasil rata-rata perjudul film
  4. Penyerahan Film Cerita Impor:
    DPP = Rp 12.000.000 per copy film cerita impor
    PPN = 10% x Rp 12.000.000 per copy film cerita impor
  5. Penyerahan produk hasil tembakau:
    DPP = Harga jual eceran
    PPN = 10% x harga jual eceran
  6. BKP berupa persediaan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan:
    DPP = Harga Pasar Wajar
    PPN = 10% x Harga Pasar Wajar
  7. BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan:
    DPP = Harga Pasar Wajar
    PPN = 10% x Harga Pasar Wajar
  8. Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan BKP antar cabang:
    DPP = Harga Pokok Penjualan atau Harga Perolehan
    PPN = 10% x Harga Pokok Penjualan atau Harga Perolehan
  9. Penyerahan BKP kepada pedagang perantara:
    DPP = Harga yang disepakati antara pedagang perantara dengan pembeli
    PPN = 10% x Harga yang disepakati
  10. Penyerahan BKP melalui juru lelang:
    DPP = Harga Lelang
    PPN = 10% x Harga Lelang
  11. Penyerahan jasa pengiriman paket:
    DPP = 10% x jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih
    PPN = 10% x 10% x jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih, atau
    PPN = 1% x jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih
  12. Penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata:
    DPP = 10% x jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih
    PPN = 10% x 10% x jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih, atau
    PPN = 1% x jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih
  13. Penyerahan emas perhiasan dan/atau jasa yang terkait dengan emas perhiasan oleh pengusaha emas:
    DPP = 20% x harga jual emas perhiasan atau nilai penggantian
    PPN = 10% x 20% x harga jual emas perhiasan atau nilai penggantian
    PPN = 2% x harga jual emas perhiasan atau nilai penggantian
  14. Penyerahan emas perhiasan oleh pengusaha emas perhiasan dengan cara mengganti atau menukar Emas Perhiasan dengan emas batangan kadar 24karat sebagai pengganti seluruh bahan baku pembuatan Emas Perhiasan:
    DPP = 20% x Harga Jual Emas Perhiasan dikurangi dengan harga emas batangan kadar 24 karat yang terkandung dalam emas perhiasan tersebut
    PPN = 10% x 20% x Harga Jual Emas Perhiasan dikurangi dengan harga emas batangan kadar 24 karat yang terkandung dalam emas perhiasan tersebut
    PPN = 2% x Harga Jual Emas Perhiasan dikurangi dengan harga emas batangan kadar 24 karat yang terkandung dalam emas perhiasan tersebut
  15. Penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang didalam tagihan jasa pengurusan transportasinya terdapat biaya transportasi (freight charges):
    DPP = 10% x jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih
    PPN = 10% x 10% x jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih
    PPN = 1% x jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih

Pajak Masukan yang berhubungan dengan:

  1. penyerahan jasa pengiriman paket yang dilakukan oleh pengusaha jasa pengiriman paket;
  2. penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata yang dilakukan oleh pengusaha jasa biro perjalanan atau pengusaha jasa biro pariwisata; dan
  3. penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang di dalam tagihan jasa pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya transportasi (freight charges) yang dilakukan oleh pengusaha jasa pengurusan transportasi,

tidak dapat dikreditkan.

Selain itu, Pajak Masukan yang berhubungan dengan penyerahan Emas Perhiasan dan/atau jasa yang terkait dengan Emas Perhiasan oleh Pengusaha Emas Perhiasan juga tidak dapat dikreditkan.