E-mail Global Communications Connection Social Networking Concept

Sertifikat elektronik expired? Kini perpanjangan bisa melalui email

Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2020, masa berlaku Sertifikat Elektronik yaitu 2 (dua) tahun sejak tanggal Sertifikat Elektronik diberikan oleh DJP. Sertifikat Elektronik hanya diberikan kepada Wajib Pajak sebagai bukti dari otentifikasi pengguna layanan pajak secara elektronik. Seperti yang diketahui bahwa pentingnya memiliki Sertifikat Elektronik bagi Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang sudah dikukuhkan sebagai PKP maupun Non PKP yang melakukan transaksi perpajakan tertentu.

Bagi Wajib Pajak Badan Non PKP berikut hal-hal yang diperlukan untuk mengajukan perpanjangan Sertifikat Elektronik melalui email :

  1. Scan formulir Sertifikat Elektronik (bertanda tangan pengurus dalam akta dan stempel perusahaan)
  2. Scan formulir Proof of Record Ownership yang no.1-6 diisi sesuai identitas pribadi pengurus dalam akta (bertanda tangan dan stempel perusahaan)
  3. Scan akta pendirian dan/atau akta perubahan pengurus terakhir
  4. Scan KTP dan NPWP direktur
  5. Scan BPS/BPE SPT Tahunan Badan (tahun terakhir)
  6. Scan NPWP Badan
  7. Memberitahukan Passphrase yang akan digunakan dengan kriteria minimal 8 karakter (campuran huruf & angka)

Seluruh kelengkapan berkas tersebut dapat dikirimkan ke email KPP terdaftar untuk nantinya diproses terlebih dahulu setelah permohonan disetujui, Sertifikat Elektronik akan dikirimkan ke email pemohon yang mengajukan permohonan.

Bagi Wajib Pajak Badan PKP berikut hal-hal yang diperlukan untuk mengajukan perpanjangan Sertifikat Elektronik melalui email :

  1. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan perpanjangan Sertifikat Elektronik secara elektronik melalui laman efaktur.pajak.go.id (website e-nofa)
  2. Scan NPWP Badan
  3. Scan KTP dan NPWP Pengurus
  4. Swafoto/selfie pengurus sambil memegang KTP dan NPWP
  5. Scan Surat Pernyataan Persetujuan Penggunaan Sertifikat Elektronik yang sudah diisi lengkap, dibubuhi meterai 10.000, tanda tangan, dan cap/stempel perusahaan
  6. Formulir Permintaan Sertifikat Elektronik (lampiran PER-04/2020) yang sudah diisi lengkap, dibubuhi tanda tangan, dan cap/stempel perusahaan
  7. Scan BPS/BPE SPT Tahunan Badan (tahun terakhir)
  8. Dalam hal pengurus tidak tercantum dalam SPT Tahunan Badan (tetapi tercantum di akta pendirian dan perubahan), Wajib Pajak dimohon untuk mengirimkan hasil scan Akta Pendirian serta Perubahan terakhir

Seluruh kelengkapan berkas tersebut dapat dikirimkan ke email KPP terdaftar untuk nantinya diproses terlebih dahulu setelah permohonan disetujui, Sertifikat Elektronik dapat diunduh pada laman e-nofa.

Businesswoman working on a laptop

Cara mendapatkan Sertifikat Elektronik Ebupot secara online

Langkah Memperoleh Sertifikat Elektronik e-Bupot Secara Online

Sejak 1 Agustus 2020 telah mewajibkan seluruh wajib pajak, baik Pengusaha Kena Pajak (PKP) maupun Non-PKP untuk melakukan transaksi terkait Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23/26. Mengurusnya dilakukan menggunakan aplikasi e-Bupot. Namun untuk mengaplikasi e-Bupot tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Salah satu syarat yang harus dilakukan adalah dengan memiliki Sertifikat Elektronik terlebih dahulu untuk dapat mengakses aplikasi tersebut.

Dan untuk membuat Bukti Potong PPh Pasal 23/26 harus memiliki Sertifikat Elektronik pajak terlebih dahulu.Berikut cara untuk mendapatkannya, bisa melakukan pengajuan ke DJP secara online dengan cara sebagai berikut:

  1. Mengirimkan surat permohonan sertifikat elektronik dan surat pemberitahuan persetujuan penggunaan sertifikat elektronik kepada KPP yang ditandatangani dan dikirim oleh pengurus WP/PKP
  2. Surat dikirim langsung ke KPP, dimana WP/PKP dikukuhkan dan tidak boleh diwakilkan
  3. Menyerahkan SPT Tahunan PPh Badan disertai bukti penerimaan surat/tanda terima laporan SPT yang asli
  4. Dalam hal deklarasi dilakukan oleh pengurus sistem WP/PKP, maka nama penyelenggara sistem harus dicantumkan dalam SPT Tahunan Pajak Badan. Kecuali terdaftar, dokumen asli dan fotokopi dari yang berikut ini harus disediakan: Surat penunjukan dari senior yang bersangkutan, akta pendirian perusahaan atau penunjukan sebagai ABER/kantor tetap perusahaan induk di luar negeri.
  5. Administrasi harus memberikan dokumen identitas asli dan fotokopi berupa e-KTP (kartu tanda penduduk elektronik) dan kartu keluarga (KK).
  6. Jika pengelola adalah WNA (Warga Negara Asing), Anda harus memberikan yang asli dan mengirimkan salinan paspor, KITAS (Kartu Izin Tinggal Terbatas) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP).
  7. Administrator, sebagai pelengkap permintaan sertifikat elektronik, harus memberikan salinan foto terbaru pada CD (CD) atau pembawa data lainnya (file foto ditandai dengan: Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) PKP, nama pengelola (nama KTP pengelola).

Maka setelah mendapatkan Sertifikat Elektronik tersebut, dapat langsung mengakses aplikasi seperti e-Bupot, e-Faktur, dan aplikasi lainnya yang membutuhkan sertifikat elektronik tersebut.

invoice-bill-paid-payment-financial-account-concept

Faktur Pajak Gabungan

Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh PKP yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP).

Faktur Pajak harus dibuat pada saat:

  1. Penyerahan BKP dan/atau JKP;
  2. Penerimaan pembayaran dalam hal terjadi sebelum penyerahan BKP dan/atau JKP;
  3. Penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan;
  4. Ekspor BKP berwujud, ekspor BKP tidak berwujud, dan/atau ekspor JKP; atau
  5. Saat lain yang diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPN

Selain itu, DJP memberikan kemudahan bagi PKP untuk dapat membuat 1 Faktur Pajak yang dimaksud dengan Faktur Pajak Gabungan. Pajak Gabungan meliputi seluruh penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan kepada Pembeli BKP dan/atau Penerima JKP yang sama selama 1 bulan kalender. Faktur Pajak Gabungan dibuat paling lambat akhir bulan penyerahan BKP dan/atau JKP. Dalam hal terdapat pembayaran sebagian atau selurunya sebelum penyerahan BKP dan/atau JKP yang diterima dalam bulan penyerahan, Faktur Pajak Gabungan tetap dibuat paling lama akhir bulan penyerahan BKP dan/atau JKP.

Contoh:

PT. A melakukan penyerahan BKP kepada PT. B selama bulan April 2022 sebagai berikut:

Tanggal Uraian Harga Jual/Pembayaran
1 Penyerahan BKP kode 01 1.000.000
4 Penerimaan pembayaran DP yang mana barang akan dikirim di bulan Mei 2022 kode 01 2.000.000
10 Penerimaan pelunasan pembayaran yang mana barang akan dikirim pada tanggal 25 April 2022 kode 01 5.000.000
25 Penyerahan BKP atas penerimaan pelunasan tanggal 10 April 2022 kode 01 5.000.000
30 Penyerahan BKP kode 01

3.500.000

PT. A dapat memilih membuat 1 Faktur Pajak Gabungan pada tanggal 30 April 2022 yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan dan pembayaran uang mula/pelunasan dimuka yang diterima pada bulan April 2022 yaitu dengan DPP (Dasar Pengenaan Pajak) sebesar Rp 11.500.000 yang terdiri dari:

Tanggal Harga Jual/Pembayaran
1 1.000.000
4 2.000.000
10 5.000.000
30 3.500.000

Didalam PER-3/PJ/2022 yang berlaku mulai 1 April 2022, PKP dapat membuat Faktur Pajak Gabungan menggunakan lebih dari 1 kode. Jadi Faktur Pajak Gabungan dibuat atas penyerahan dengan kode transaksi yang sama untuk tiap-tiap kode transaksi yang dimaksud.

Namun Faktur Pajak Gabungan tidak dapat dibuat atas penyerahan BKP dan/atau JKP ke dan/atau dari Kawasan tertentu atau tempat tertentu yang mendapat fasilitas PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut.

Contoh:

PT. B melakukan penyerahan ke CV. C sebagai berikut:

Tanggal Uraian Harga Jual/Pembayaran
1 Penjualan kerupuk 8.000.000
4 Penjualan sambal 1.000.000
10 Pemberian cuma-cuma sambal 100.000
14 Penjualan sambal 2.500.000
21 Pemberian cuma-cuma sambal 50.000
25 Penjualan kerupuk 5.000.000
30 Pemberian cuma-cuma sambal 150.000

PT. B wajib membuat Faktur Pajak menggunakan kode transaksi 01 untuk penjualan kerupuk dan sambal dan kode transaksi 04 untuk pemberian cuma-cuma sambal. Apabila PT. B memilih untuk menggunakan Faktur Pajak Gabungan maka PT.B wajib membuat:

  • 1 Faktur Pajak Gabungan dengan kode transaksi 01 untuk transaksi
Tanggal Uraian Harga Jual/Pembayaran
1 Penjualan kerupuk 8.000.000
4 Penjualan sambal 1.000.000
14 Penjualan sambal 2.500.000
25 Penjualan kerupuk 5.000.000
  • 1 Faktur Pajak Gabungan dengan kode transaksi 04 untuk transaksi
Tanggal Uraian Harga Jual/Pembayaran
10 Pemberian cuma-cuma sambal 100.000
21 Pemberian cuma-cuma sambal 50.000
30 Pemberian cuma-cuma sambal 150.000
Money and income attraction. Business people working among calculator, cash and magnet. Flat vector illustration for finance, investment, loan, accounting, profit concepts

Penghitungan Kembali Pajak Masukan

Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kepastian kepada Pengusaha Kena Pajak.

Pedoman pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak atau dibebaskan diatur dalam PMK Nomor 78/PMK.03/2010 stdtd. PMK Nomor 135/PMK.011/2014.

Pajak Masukan Untuk Penyerahan Yang Terutang Pajak Dan Yang Tidak Terutang Pajak

Pengusaha Kena Pajak yang:

  • menghasilkan BKP yang atas penyerahannya termasuk dalam Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak; dan
  • mengolah dan/atau memanfaatkan lebih lanjut BKP sebagaimana dimaksud pada huruf a, baik melalui unit pengolahan sendiri maupun melalui titip olah dengan menggunakan fasilitas pengolahan PKP lainnya sehingga menjadi BKP yang atas penyerahannya termasuk dalam Penyerahan yang Terutang Pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, Pajak Masukan yang sudah dibayar dapat dikreditkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pedoman Penghitungan Pajak Masukan Yang Dapat Dikreditkan

Pedoman penghitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan penyerahan yang terutang pajak dan yang tidak terutang pajak adalah sebagai berikut:

P = PM x Z

dimana:

P      =  jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;
PM  =  jumlah Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP;
Z      =  persentase yang sebanding dengan jumlah penyerahan yang terutang pajak terhadap penyerahan seluruhnya.

Terhadap Pengusaha Kena Pajak yang telah mengkreditkan Pajak Masukan dengan menggunakan pedoman penghitungan sebagaimana di atas, harus menghitung kembali besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Penghitungan kembali Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dilakukan dengan menggunakan pedoman penghitungan sebagai berikut:

  1. Untuk BKP dan JKP yang masa manfaatnya lebih dari 1 (satu) tahun:

    P’ = PM/T x Z’

    dimana:

    P      =  jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dalam 1(satu) tahun buku;
    PM   =  jumlah Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP;
    T      =  masa manfaat BKP dan/atau JKP yang ditetapkan sebagai berikut:

    • untuk BKP berupa tanah dan bangunan adalah 10 tahun;
    • untuk BKP selain tanah dan bangunan dan JKP adalah 4 tahun;

    Z   = persentase yang sebanding dengan jumlah penyerahan yang terutang pajak terhadap seluruh penyerahan dalam 1 (satu) tahun buku.

  2. Untuk BKP dan JKP yang masa manfaatnya 1 (satu) tahun atau kurang:
P’ = PM x Z’

dimana:

P’     =  jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkandalam 1 (satu) tahun buku;
PM  =  jumlah Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP;
Z’  = persentase yang sebanding dengan jumlah penyerahan yang terutang pajak terhadap seluruh penyerahan dalam 1 (satu) tahun buku.

Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dari hasil penghitungan kembali di atas, diperhitungkan dengan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan pada suatu Masa Pajak, paling lama pada bulan ketiga setelah berakhirnya tahun buku.

Penghitungan kembali Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tidak perlu dilakukan dalam hal masa manfaat BKP dan/atau JKP yang lebih dari 1 (satu) tahun telah berakhir.

2253648

PENGUSAHA KENA PAJAK

Sebelum membahas mengenai Pengusaha Kena Pajak, perlu diperhatikan terlebih dahulu mengenai definisi Pengusaha sesuai Pasal 1 angka 14 UU PPN.  Berdasarkan UU tersebut, Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya:

  1. menghasilkan barang;
  2. mengimpor barang;
  3. mengekspor barang;
  4. melakukan usaha pedagangan;
  5. memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean;
  6. melakukan usaha jasa (termasuk mengekspor jasa);
  7. memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.

Pengertian badan usaha dalam bentuk apapun di atas dapat berbentuk PT, CV, perseroan lainnya, BUMN atau BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Dalam Pasal 1 angka 15 UU PPN, yang dimaksud Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN.

Dalam praktiknya, termasuk pula dalam pengertian Pengusaha Kena Pajak adalah:

  1. Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi belum dikukuhkan;
  2. Bentuk kerjasama operasi (Joint Operation/Joint Venture: JO) yang melakukan penyerahaan BKP/JKP atas nama JO.

Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean dan/atau melakukan ekspor BKP Berwujud, ekspor JKP, dan/atau ekspor BKP Tidak Berwujud diwajibkan:

  • melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
  • memungut pajak yang terutang;
  • menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang; dan
  • melaporkan penghitungan pajak.

Kewajiban di atas tidak berlaku untuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan (lihat artikel sebelumnya mengenai Pengusaha Kecil dan Kewajibannya Menurut UU PPN). Namun pengusaha kecil dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Apabila pengusaha kecil memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak, maka kewajiban perpajakan menurut ketentuan undang-undang berlaku sepenuhnya bagi pengusaha kecil tersebut.

Pencabutan Pengukuhan PKP-edit

Pencabutan Pengukuhan PKP

Dalam Pasal 2 ayat (8) UU KUP jo. PMK No. 147/PMK.03/2017 serta merujuk kepada PER-20/PJ/2013 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PER-04/PJ/2020 mengatur mengenai tata cara pencabutan pengukuhan PKP, di mana disebutkan bahwa pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak terhadap:

  1. PKP dengan status Wajib Pajak Non Efektif;
  2. PKP yang tidak diketahui keberadaan dan/atau kegiatan usahanya;
  3. PKP menyalahgunakan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
  4. PKP pindah alamat ke wilayah kerja KPP lain;
  5. PKP yang sudah tidak memenuhi persyaratan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
  6. PKP telah dipusatkan tempat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai di tempat lain;

Pencabutan pengukuhan PKP juga dapat dilakukan atas dasar permohonan PKP maupun secara jabatan. Prosesnya dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan. Penerbitan keputusan atas permohonan pencabutan pengukuhan PKP dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal Bukti Penerimaan Surat (sejak tanggal permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap). Apabila jangka waktu 6 bulan terlampaui dan KPP tidak menerbitkan keputusan, maka permohonan PKP dianggap dikabulkan dan KPP menerbitkan surat pencabutan pengukuhan PKP dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu 6 bulan dimaksud berakhir.

Kewajiban Melaporkan Usaha-edit

Kewajiban Melaporkan Usaha

Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean. Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.

Pengusaha orang pribadi berkewajiban melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan, sedangkan bagi Pengusaha badan berkewajiban melaporkan usahanya tersebut pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan.

Dengan demikian, Pengusaha orang pribadi atau badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha di wilayah beberapa kantor Direktorat Jenderal Pajak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP baik di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha maupun di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.

Fungsi pengukuhan PKP digunakan untuk mengetahui identitas PKP yang sebenarnya juga berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang PPN dan PPnBM, serta untuk pengawasan administrasi perpajakan. Terhadap Pengusaha yang telah memenuhi syarat sebagai PKP tetapi tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pada prinsipnya setiap Wajib Pajak sebagai pengusaha yang melakukan penyerahan yang dikenai PPN berdasarkan Undang-Undang PPN (kecuali pengusaha kecil), wajib melaporkan usahanya pada KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Dalam PMK No. 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan PMK No. 197/PMK.03/2013, diatur bahwa pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 4.800.000.000 tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP dan tidak wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN/PPnBM yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya.

Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 4.800.000.000. Kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP tersebut dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 4.800.000.000.

Dalam PMK No. 182/PMK.03/2015diatur bahwa terhadap WP yang tidak melaksanakan kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP dalam jangka waktu tersebut di atas, dapat dikukuhkan sebagai PKP secara jabatan.