Creative Innovation Inspiration Light Bulb Graphic Word

6 Tips Menghadapi Pemeriksaan Pajak

Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan. Pada pelaksanaannya pemeriksaan bertujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak, yang dibagi menjadi dua yaitu Pemeriksaan Khusus dan Pemeriksaan Rutin; Selain itu pemeriksaan dilakukan juga dengan tujuan dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perpajakan.

Pemeriksaan bisa saja terjadi pada Wajib Pajak Pribadi ataupun Perusahaan/Badan, dalam menghadapi pemeriksaan pajak berikut terdapat enam tips dalam menghadapinya, yaitu:

  1. Tindakan Preventif
    Tindakan preventif adalah melakukan tindakan-tindakan dalam rangka mencegah terjadinya pemeriksaan pajak. Tindakan yang dapat dilakukan berupa memenuhi dan menjalankan kewajiban perpajakan dengan baik, seperti pemotongan dan/atau pemungutan untuk pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN) sesuai dengan peraturan yang berlaku.
  2. Persiapan Dokumen
    Wajib Pajak dapat mempersiapkan dokumen-dokumen yang sekiranya akan diperlukan dalam pemeriksaan, seperti:
  • Laporan keuangan
  • Audit report (jika ada)
  • Rekening koran perusahaan
  • Akta pendirian perusahaan
  • SPT Tahunan dan Bulanan, dan
  • Dokumen-dokumen transaksi yang terjadi selama masa/tahun terjadinya proses pemeriksaan pajak.
  • File softcopy yang diminta sesuai dengan permintaan Tim Pemeriksa Pajak Pada prosesnya Wajib Pajak yang melakukan penyerahan dokumen/data ke tim pemeriksa perlu dibuatkan tanda terima agar nanti saat pemeriksaan pajak telah selesai, Wajib Pajak dapat mengingat kembali dokumen-dokumen apa saja yang sudah diberikan ke Tim Pemeriksa Pajak di KPP.
  1. Komunikasi
    Pada proses pemeriksaan pajak, komunikasi dengan Tim Pemeriksa sangatlah penting. Komunikasi biasanya berhubungan dengan permintaan dokumen tambahan yang diperlukan oleh Tim Pemeriksa, komunikasi dapat berupa telepon, chat, email atau Wajib Pajak diminta datang ke KPP untuk memberikan penjelasan secara lisan.
  2. Pembuktian dan Argumentasi
    Setiap temuan atau pertanyaan yang diajukan oleh Tim Pemeriksa kepada Wajib Pajak harus disertai dengan bukti-bukti, berupa bukti transaksi, bukti korespondensi dengan pihak lain, atau bukti berupa Analisa yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Setalah semua bukti terkumpul, Wajib Pajak dapat memberikan argumen yang sesuai dan disampaikan kepada Tim Pemeriksa Pajak.
  3. Pembahasan Akhir
    Setelah Wajib Pajak menyampaikan argumennya, Pihak Pemeriksa selanjutnya akan melakukan proses pembahasan akhir (closing) dimana Direktur atau kuasa akan diundang untuk membahas terkait dengan koreksi pajak saat pemeriksaan. Apabila dalam proses pembahasan akhir ditemukan persetujuan atas koreksi maka hasil koreksi yang disetujui akan dicantumkan dalam Laporan Hasil Pembahasan Akhir Pemeriksaan. Namun, apabila atas koreksi yang dilakukan oleh Tim Pemeriksa belum disetujui oleh Wajib Pajak dan koreksi tersebut tidak selesai dalam proses pemeriksaan pajak, maka setelah proses pemeriksaan selesai, Wajib Pajak dapat melakukan upaya hukum selanjutnya.
  4. Langkah Hukum Selanjutnya
    Setelah proses pemeriksaan selesai dan Wajib Pajak telah menerima Surat Ketetapan Pajak dari pihak KPP, maka upaya hukum selanjutnya yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak adalah melakukan proses Keberatan Pajak. Surat Keberatan Pajak dapat dibuat paling lambat 3 bulan sejak Surat Ketetapan Pajak diterima oleh Wajib Pajak dan disampaikan ke pihak KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.

    Penjelasan diatas merupakan beberapa tips yang dapat dilakukan dalam menghadapi pemeriksaan pajak. Wajib Pajak bisa lebih memperhatikan kewajibannya sebagai wajib pajak dan melakukan hal hal yang bisa dilakukan agar mencegah ataupun mempersiapkan diri dalam menghadapi pemeriksaan tersebut.

 

 

 

 

Businessman logging in to his tablet

PPN atas Penyerahan Jasa Pelayanan Verifikasi Transaksi Aset Kripto oleh Penambang Aset Kripto

Setelah kita membahas mengenai PPN yang dibebankan kepada Investor Aset Kripto pada artikel sebelumnya, maka dalam artikel ini akan dibahas lebih lanjut mengenai PPN atas Penyerahan Jasa Pelayanan Verifikasi Transaksi Aset Kripto oleh Penambang Aset Kripto.

Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan jasa verifikasi transaksi Aset Kripto dan/atau jasa manajemen kelompok Penambang Aset Kripto (mining pool) oleh Penambang Aset dipungut oleh Penambang Aset Kripto. Penambang Aset Kripto yang dimaksud merupakan pengusaha yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dipungut dan disetor sebesar 10% (sepuluh persen) dari tarif Pajak Pertambahan Nilai dikali dengan nilai berupa uang atas Aset Kripto yang diterima oleh Penambang Aset Kripto, termasuk Aset Kripto yang diterima dari sistem Aset Kripto (block reward).

Apabila imbalan yang diterima oleh Penambang Aset Kripto atas penyerahan Aset Kripto sehubungan jasa verifikasi transaksi dan/atau jasa manajemen kelompok Penambang Aset Kripto (mining pool) berupa mata uang fiat selain Rupiah, maka mata uang fiat tersebut harus dikonversikan ke dalam mata uang Rupiah berdasarkan kurs PMK, berdasarkan nilai yang ditetapkan oleh bursa berjangka yang menyelenggarakan perdagangan Aset Kripto atau berdasarkan nilai dalam sistem yang dimiliki oleh Penambang Aset Kripto.

bitcoins-mining-concept

Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Aset Kripto di Indonesia

Meski sudah bukan hal baru, perbincangan mengenai investasi pada aset kripto kerap didengar beberapa tahun belakangan ini. Aset Kripto sendiri merupakan mata uang digital yang dipakai untuk bertransaksi virtual dalam jaringan internet. Terkait keamanannya sendiri, baik itu jual beli aset serta transaksi menggunakan mata uang kripto, dilindungi kriptografi atau sandi rahasia sebagai bagian dari keamanannya.

Popularitas aset kripto yang meroket ini menarik banyak orang di dunia untuk berinvestasi karena keunikan aset kripto sendiri kerap kali diberitakan sebagai salah satu faktor yang dapat menghadirkan keuntungan besar bagi para investor.

Setiap negara memiliki kebijakan berbeda-beda terhadap cryptocurrency, begitupula dengan ketentuan perpajakannya. Di Indonesia sendiri, peraturan perpajakan atas aset kripto ini diatur di dalam PMK No.68/PMK.03/2022. Dalam artikel ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai PPN yang dibebankan kepada Investor Aset Kripto.

Dalam Pasal 2 PMK No.68/PMK.03/2022 disebutkan bahwa,

Atas penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud berupa Aset Kripto oleh Penjual Aset Kripto dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

Penyerahan Aset Kripto yang dimaksud adalah:

  1. jual beli Aset Kripto dengan mata uang fiat;
  2. tukar-menukar Aset Kripto dengan Aset Kripto lainnya (swap); dan/atau
  3. tukar-menukar Aset Kripto dengan barang selain Aset Kripto dan/atau jasa.

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan Aset Kripto tersebut akan dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Singkatnya, investor tidak perlu menyetorkan dan melaporkan sendiri atas PPN terhutang.

 

Tarif PPN

Tarif PPN yang dikenakan menggunakan besaran tertentu yang ditetapkan sebagai berikut:

  • 1% (satu persen) dari tarif Pajak Pertambahan Nilai dikali dengan nilai transaksi Aset Kripto, dalam hal Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik merupakan Pedagang Fisik Aset Kripto; atau
  • 2% (dua persen) dari tarif Pajak Pertambahan Nilai dikali dengan nilai transaksi Aset Kripto, dalam hal Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik bukan merupakan Pedagang Fisik Aset Kripto.

Nilai transaksi yang dimaksud adalah:

  • nilai uang yang dibayarkan oleh Pembeli Aset Kripto, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dalam hal transaksi Aset Kripto merupakan jual beli Aset Kripto menggunakan mata uang fiat. Apabila penyerahan Aset Kripto dilakukan dengan menggunakan selain mata uang Rupiah, nilai transaksi dihitung sebesar nilai konversi ke dalam mata uang Rupiah berdasarkan kurs yang ditetapkan oleh Menteri yang berlaku pada saat pemungutan Pajak Pertambahan Nilai.
  • nilai masing-masing Aset Kripto yang diserahkan oleh para pihak yang bertransaksi, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dalam hal transaksi Aset Kripto merupakan tukar-menukar Aset Kripto dengan Aset Kripto lainnya (swap); atau
  • nilai Aset Kripto yang dipindahkan (transfer) ke akun pihak lain, dalam hal transaksi merupakan tukar menukar Aset Kripto dengan barang selain Aset Kripto dan/atau jasa. Apabila transaksi swap atau transfer di atas dilakukan dengan menggunakan selain mata uang Rupiah, maka nilai transaksi diakui sebesar nilai konversi Aset Kripto ke dalam mata uang Rupiah sebesar nilai yang ditetapkan oleh bursa berjangka yang menyelenggarakan perdagangan Aset Kripto; atau berdasarkan nilai dalam sistem yang dimiliki oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, yang diterapkan secara konsisten.
Male worker with bulldozer in sand quarry

Pasir, Kerikil, Tanah Liat Kena PPN

Terbitnya UU HPP banyak memberikan perubahan terhadap aturan pada UU sebelumnya. Seperti barang kebutuhan pokok yang pada UU PPN No 8 Tahun 1983 sebagaimana diubah dalam UU Cipta Kerja No 11 Tahun 2020 Pasal 4A ayat 2 merupakan barang yang tidak dikenai PPN., namun pada UU HPP No 7 Tahun 2021, barang kebutuhan pokok tersebut dihapuskan dari Pasal 4A ayat 2. Jika dihapuskan apakah barang kebutuhan pokok tersebut menjadi dikenakan PPN?

Ternyata, oleh pemerintah barang kebutuhan pokok tersebut dipindah kedalam Pasal 16B ayat 1A menjadi “Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak baik untuk sementara waktu maupun selamanya”. Artinya atas barang kebutuhan pokok tersebut saat ini tetap tidak dikenakan PPN (mendapat fasilitas dibebaskan PPN). Lalu bagaimana dengan barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya seperti kerikil, pasir, tanah liat, dan lain-lain?

Sama seperti barang kebutuhan pokok, ternyata untuk barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya juga dihapuskan dari kelompok barang yang dikenai PPN. Lalu bagaimana untuk barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, apakah juga dimasukkan dalam Pasal 16B ayat 1A UU HPP yang mendapat fasilitas PPN?

Bedasarkan Pasal 16B ayat 1A huruf (j) UU HPP ternyata hal tersebut tidak disebutkan yang artinya barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya seperti kerikil, pasir, tanah liat tidak mendapat fasilitas PPN dibebaskan atau tidak dipungut.

Dalam Siaran Pers No. SP-39/KLI/2022 angka 3 rincian Barang dan Jasa Tertentu yang Diberikan Fasilitas Bebas PPN untuk barang hasil pertambangan hanya spesifik untuk minyak bumi, gas bumi (gas melalui pipa, LNG dan CNG), serta panas bumi saja. Hingga saat ini, DJP masih belum menerbitkan aturan pelaksana sebagai penjelas dari UU ataupun Siaran Pers tersebut.

Sehingga untuk sekarang ini, penjualan kerikil, pasir, tanah liat, dan sebagainya selain yang disebutkan dalam SP tersebut terutang PPN 11%.

Businesspeople working in finance and accounting Analyze financial graph budget and planning for future in office room.

PEMUSATAN TEMPAT PPN TERUTANG

  1. Prinsip Dasar PPN

Pada dasarnya UU PPN menganut prinsip desentralisasi, artinya PPN terutang di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha dilakukan atau tempat lain yang ditetapkan Dirjen Pajak (Pasal 12 ayat (1) UU PPN). Dengan kata lain, apabila Pengusaha memiliki tempat kegiatan usaha lebih dari satu (memiliki kantor cabang atau perwakilan,lokasi usaha, perwakilan, unit pemasaran dan sejenisnya) yang berada di wilayah KPP yang berbeda, maka masing-masing tempat kegiatan usaha tersebut harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1A ayat (1) huruf f UU PPN penyerahan BKP dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP antar Cabang termasuk dalam pengertian penyerahan BKP. Namun demikian, penyerahan BKP tersebut tidak akan terutang PPN apabila Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan telah memperoleh ijin pemusatan tempat PPN terutang. Jadi, dalam hal Pengusaha Kena Pajakmempunyai lebih dari  satu  tempat  usaha,  baik  sebagai  pusat  maupun cabang-cabang perusahaan, dan Pengusaha Kena Pajaktersebut telah memperoleh ijin pemusatan tempat pajak terutang dari Dirjen Pajak, maka pemindahan BKP dari satu tempat usaha ke tempat usaha lainnya (pusat ke cabang atau sebaliknya, atau antar cabang) dianggap tidak termasuk dalam pengertian penyerahan BKP, kecuali pemindahan BKP antartempat pajak terutang.

Pada mulanya, pemusatan (sentralisasi) tempat terutang PPN ini hanya diberikan kepada Pengusaha Kena Pajakyang mengajukan permohonan kepada Dirjen Pajak yang secara formal dan material telah memenuhi persyaratan. Namun, dalam perjalanan selanjutnya, sejalan dengan pengembangan sistem administrasi modern di beberapa KPP, sentralisasi tempat terutang PPN ini menjadi suatu keharusan bagi Pengusaha Kena Pajakyang terdaftar di KPP-KPP tertentu, yaitu yang terdaftar di KPP WP Besar, KPP Madya dan Pengusaha Kena Pajak yang terdaftar di KPP di lingkungan Kanwil Khusus.

  1. Syarat Dan Ketentuan Pemusatan PPN

Bagi Pengusaha Kena Pajaklainnya, aturan yang menjadi rujukan formal terkait dengan sentralisasi ini adalah PER-19/PJ/2010 tentang Penetapan Satu Tempat atau Lebih Sebagai Tempat PPN Terutang. Dalam PER-19/PJ/2010 tersebut antara lain diatur sebagai berikut:

  1. Pengusaha Kena Pajak yang memiliki lebih dari satu tempat PPN terutang dapat memilih 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat pemusatan PPN terutang. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak memilih 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat pemusatan PPN terutang, Pengusaha Kena Pajak dimaksud harus menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kanwil DJP dengan tembusan kepada Kepala KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat-tempat PPN terutang yang akan dipusatkan.
  2. Pemberitahuan secara tertulis harus memenuhi persyaratan:
    • memuat nama, alamat, dan NPWP tempat PPN terutang yang dipilih sebagai tempat pemusatan;
    • memuat nama, alamat, dan NPWP tempat PPN terutang yang akan dipusatkan;dan
    • dilampiri surat pernyataan bahwa administrasi penjualan diselenggarakan secara terpusat pada tempat PPN terutang yang dipilih sebagai tempat pemusatan.
  1. Kepala Kanwil atas nama Dirjen Pajak dalam jangka waktu paling lama 14 hari kerja sejak diterimanya pemberitahuan menerbitkan:
    • Surat Keputusan (SK) Dirjen Pajak tentang Persetujuan Pemusatan Tempat PPN Terutang, dalam hal pemberitahuan telah memenuhi persyaratan (berlaku mulai masa pajak berikutnya setelah tanggal penerbitan SK); atau
    • Surat Pemberitahuan Penolakan Pemusatan Tempat PPN Terutang, dalam hal pemberitahuan tidak memenuhi persyaratan.
  2. Dalam hal terdapat penambahan tempat PPN terutang yang akan dipusatkan atau pengurangan tempat PPN terutang yang telah dipusatkan, Pengusaha Kena Pajak yang telah mendapatkan persetujuan pemusatan tempat PPN terutang wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepadaKepala Kanwil DJP. Demikian pula apabilaingin memilih tempat PPN terutang yang lain sebagai tempat pemusatan yang baru, Pengusaha Kena Pajak wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertuliskepada Kepala Kanwil DJP. Namun untuk yang terakhir ini, hanya diperkenankan setelah jangka waktu 2 tahun sejak masa pajak dimulainya pemusatan PPN terutang.
  3. Pengusaha Kena Pajak yang telah melaksanakan pemusatan PPN terutang dapat menyampaikan pemberitahuan secara tertulis tentang pencabutan pemusatan tempat PPN terutang kepada Kepala Kanwil DJP. Pemberitahuan ini harus disampaikan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum masa pajak dimana Pengusaha Kena Pajak tidak lagi menginginkan tempat-tempat PPN terutang dipusatkan, dengan tembusan kepada Kepala KPP tempat-tempat Pengusaha Kena Pajak terdaftar yang semula dipusatkan. Kepala Kanwil atas nama Dirjen Pajak dalam jangka waktu paling lama 5 hari kerja sejak diterimanya pemberitahuan akan menerbitkan SK Dirjen Pajak tentang Pencabutan Pemusatan Tempat PPN Terutang.
  4. Pengusaha Kena Pajak yang telah melaksanakan pemusatan PPN terutang dapat memperpanjang atau tidak memperpanjang jangka waktu pemusatan tempat PPN terutang dan harus menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kanwil DJP. Pemberitahuan ini disampaikan selambat-lambatnya 2 bulan sebelum batas waktu persetujuan pemusatan PPN terutang berakhir. Kepala Kanwil atas nama Dirjen Pajak dalam jangka waktu paling lama 14 hari sejak diterimanya pemberitahuan akan menerbitkan SK Dirjen Pajak tentang Persetujuan Pemusatan Tempat Terutang yang baru. Namun, dalam hal batas waktu paling lama 2 bulan di atas terlampaui danPengusaha Kena Pajak tidak menyampaikan pemberitahuan dimaksud,Pengusaha Kena Pajak dianggap tidak memperpanjang jangka waktu pemusatan PPN terutang.
  5. Tidak dapat dipilih sebagai tempat pemusatan PPN terutang atau tempat PPN terutang yang akan dipusatkan adalah tempat tinggal, tempat kedudukan, atau tempat kegiatan usaha Pengusaha Kena Pajak yang:
    • berada di Kawasan Berikat;
    • berada di Kawasan Ekonomi Khusus;
    • mendapatkan fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor.
Accountant calculating profit with financial analysis graphs. Notebook, glasses and calculator lying on desk. Accountancy concept. Cropped view.

DASAR PENGENAAN PAJAK: NILAI LAIN

Saat ini, Dasar Pengenaaan Pajak (DPP) Nilai Lain diatur dalam PMK Nomor 75/PMK.03/2010stdtd. PMK Nomor 121/PMK.03/2015, PMK Nomor 102/PMK.011/2011, dan PMK Nomor 30/PMK.03/2014, yaitu dapat dirinci sebagai berikut:

  1. Pemakaian Sendiri:
    DPP = Harga Pokok (Harga Jual atau Penggantian dikurangi laba kotor)
    PPN = 10% x Harga Pokok Penjualan
  2. Pemberian Cuma-Cuma:
    DPP = Harga Pokok (Harga Jual atau Penggantian dikurangi laba kotor)
    PPN = 10% x Harga Pokok Penjualan
  3. Penyerahan Film Cerita:
    DPP = Perkiraan hasil rata-rata perjudul film
    PPN = 10% x perkiraan hasil rata-rata perjudul film
  4. Penyerahan Film Cerita Impor:
    DPP = Rp 12.000.000 per copy film cerita impor
    PPN = 10% x Rp 12.000.000 per copy film cerita impor
  5. Penyerahan produk hasil tembakau:
    DPP = Harga jual eceran
    PPN = 10% x harga jual eceran
  6. BKP berupa persediaan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan:
    DPP = Harga Pasar Wajar
    PPN = 10% x Harga Pasar Wajar
  7. BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan:
    DPP = Harga Pasar Wajar
    PPN = 10% x Harga Pasar Wajar
  8. Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan BKP antar cabang:
    DPP = Harga Pokok Penjualan atau Harga Perolehan
    PPN = 10% x Harga Pokok Penjualan atau Harga Perolehan
  9. Penyerahan BKP kepada pedagang perantara:
    DPP = Harga yang disepakati antara pedagang perantara dengan pembeli
    PPN = 10% x Harga yang disepakati
  10. Penyerahan BKP melalui juru lelang:
    DPP = Harga Lelang
    PPN = 10% x Harga Lelang
  11. Penyerahan jasa pengiriman paket:
    DPP = 10% x jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih
    PPN = 10% x 10% x jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih, atau
    PPN = 1% x jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih
  12. Penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata:
    DPP = 10% x jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih
    PPN = 10% x 10% x jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih, atau
    PPN = 1% x jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih
  13. Penyerahan emas perhiasan dan/atau jasa yang terkait dengan emas perhiasan oleh pengusaha emas:
    DPP = 20% x harga jual emas perhiasan atau nilai penggantian
    PPN = 10% x 20% x harga jual emas perhiasan atau nilai penggantian
    PPN = 2% x harga jual emas perhiasan atau nilai penggantian
  14. Penyerahan emas perhiasan oleh pengusaha emas perhiasan dengan cara mengganti atau menukar Emas Perhiasan dengan emas batangan kadar 24karat sebagai pengganti seluruh bahan baku pembuatan Emas Perhiasan:
    DPP = 20% x Harga Jual Emas Perhiasan dikurangi dengan harga emas batangan kadar 24 karat yang terkandung dalam emas perhiasan tersebut
    PPN = 10% x 20% x Harga Jual Emas Perhiasan dikurangi dengan harga emas batangan kadar 24 karat yang terkandung dalam emas perhiasan tersebut
    PPN = 2% x Harga Jual Emas Perhiasan dikurangi dengan harga emas batangan kadar 24 karat yang terkandung dalam emas perhiasan tersebut
  15. Penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang didalam tagihan jasa pengurusan transportasinya terdapat biaya transportasi (freight charges):
    DPP = 10% x jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih
    PPN = 10% x 10% x jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih
    PPN = 1% x jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih

Pajak Masukan yang berhubungan dengan:

  1. penyerahan jasa pengiriman paket yang dilakukan oleh pengusaha jasa pengiriman paket;
  2. penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata yang dilakukan oleh pengusaha jasa biro perjalanan atau pengusaha jasa biro pariwisata; dan
  3. penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang di dalam tagihan jasa pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya transportasi (freight charges) yang dilakukan oleh pengusaha jasa pengurusan transportasi,

tidak dapat dikreditkan.

Selain itu, Pajak Masukan yang berhubungan dengan penyerahan Emas Perhiasan dan/atau jasa yang terkait dengan Emas Perhiasan oleh Pengusaha Emas Perhiasan juga tidak dapat dikreditkan.

 

transportation cargo merchandise ship making travel with containers in distribution route crossing city cartoon vector illustration graphic design

Ekspor Jasa Kena Pajak (JKP) oleh Pengusaha Kena Pajak

Ekspor JKP adalah setiap kegiatan penyerahan JKP ke luar Daerah Pabean. Termasuk dalam pengertian ekspor JKP adalah penyerahan JKP dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor BKP Berwujud atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean.

Beberapa Istilah Penting

Ada beberapa istilah yang penting untuk diketahui berkaitan dengan kegiatan ekspor JKP ini, yaitu:

  • Ekspor JKP adalah setiap kegiatan penyerahan JKP ke luar Daerah Pabean.
  • Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
  • Jasa Maklon adalah pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), dan pengguna jasa menetapkan spesifikasi, serta menyediakan bahan baku dan/atau barang setengah jadi dan/atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya, dengan kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa.
  • Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan JKP, ekspor JKP, atau ekspor BKP Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan JKP dan/atau oleh penerima manfaat BKP Tidak Berwujud karena pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

Ekspor Jasa Kena Pajak dikenai Pajak Pertambahan Nilai 0% sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut: (Pasal 6 ayat 1 PMK-32/PMK.010/2019)

  1. didasarkan atas perikatan atau perjanjian tertulis antara Pengusaha Kena Pajak dengan Penerima Ekspor Jasa Kena Pajak yang mencantumkan dengan jelas:
  • Jenis;
  • rincian kegiatan yang dihasilkan di dalam Daerah Pabean untuk dimanfaatkan di luar Daerah Pabean oleh Penerima Ekspor Jasa Kena Pajak; dan
  • nilai penyerahan,
  • Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 PMK-32/PMK.010/2019, dan
  1. terdapat pembayaran disertai dengan bukti pembayaran yang sah dari Penerima Ekspor Jasa Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak sehubungan dengan Ekspor Jasa Kena Pajak.

Kegiatan pelayanan yang tidak memenuhi ketentuan ini dianggap sebagai penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai (Pasal 6 ayat 2 PMK-32/PMK.010/2019). Jasa Kena Pajak yang dihasilkan dan dimanfaatkan di luar Daerah Pabean tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai. (Pasal 6 ayat 3 PMK-32/PMK.010/2019).