Male worker with bulldozer in sand quarry

Pasir, Kerikil, Tanah Liat Kena PPN

Terbitnya UU HPP banyak memberikan perubahan terhadap aturan pada UU sebelumnya. Seperti barang kebutuhan pokok yang pada UU PPN No 8 Tahun 1983 sebagaimana diubah dalam UU Cipta Kerja No 11 Tahun 2020 Pasal 4A ayat 2 merupakan barang yang tidak dikenai PPN., namun pada UU HPP No 7 Tahun 2021, barang kebutuhan pokok tersebut dihapuskan dari Pasal 4A ayat 2. Jika dihapuskan apakah barang kebutuhan pokok tersebut menjadi dikenakan PPN?

Ternyata, oleh pemerintah barang kebutuhan pokok tersebut dipindah kedalam Pasal 16B ayat 1A menjadi “Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak baik untuk sementara waktu maupun selamanya”. Artinya atas barang kebutuhan pokok tersebut saat ini tetap tidak dikenakan PPN (mendapat fasilitas dibebaskan PPN). Lalu bagaimana dengan barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya seperti kerikil, pasir, tanah liat, dan lain-lain?

Sama seperti barang kebutuhan pokok, ternyata untuk barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya juga dihapuskan dari kelompok barang yang dikenai PPN. Lalu bagaimana untuk barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, apakah juga dimasukkan dalam Pasal 16B ayat 1A UU HPP yang mendapat fasilitas PPN?

Bedasarkan Pasal 16B ayat 1A huruf (j) UU HPP ternyata hal tersebut tidak disebutkan yang artinya barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya seperti kerikil, pasir, tanah liat tidak mendapat fasilitas PPN dibebaskan atau tidak dipungut.

Dalam Siaran Pers No. SP-39/KLI/2022 angka 3 rincian Barang dan Jasa Tertentu yang Diberikan Fasilitas Bebas PPN untuk barang hasil pertambangan hanya spesifik untuk minyak bumi, gas bumi (gas melalui pipa, LNG dan CNG), serta panas bumi saja. Hingga saat ini, DJP masih belum menerbitkan aturan pelaksana sebagai penjelas dari UU ataupun Siaran Pers tersebut.

Sehingga untuk sekarang ini, penjualan kerikil, pasir, tanah liat, dan sebagainya selain yang disebutkan dalam SP tersebut terutang PPN 11%.

man hand taxes text on notepad with calculator on document

Bukan Objek Pajak Badan

Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) UU PPh dan UU Cipta Kerja Tahun 2020 yang tidak termasuk sebagai obyek pajak PPh Badan adalah:

1. Berlaku secara umum:

a. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh Badan sebagai pengganti saham atau pengganti penyertaan modal.

b. Penghasilan yang dikenakan PPh final (sebenarnya merupakan obyek, tetapi ketika menghitung Penghasilan Kena Pajak Badan atas penghasilan ini tidak digabungkan dengan penghasilan lainnya).

 

2. Berlaku secara khusus :

a. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai, dan penghasilan dana pensiun tersebut dari modal yang ditanamkan dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah.

b. Dividen, sesuai dengan UU Cipta Kerja Tahun 2020: Dividen yang diterima oleh Wajib Pajak Dalam Negeri dikecualikan dari objek pajak panghasilan dengan syarat dividen tersebut harus diinvestasikan kembali di Indonesia dalam jangka waktu tertentu minimal 3 tahun sejak dividen diterima atau diperoleh.

Dividen yang diterima tersebut wajib diinvestasikan kembali di Indonesia dalam beberapa bentuk agar terbebas dari pengenaan pajak atas dividen. Menurut PMK 18/2021 ada beberapa bentuk investasi yang diperbolehkan yaitu:

  1. surat berharga dan surat berharga syariah Negara Republik Indonesia;
  2. obligasi atau sukuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang perdagangannya diawasi oleh OJK;
  3. obligasi atau sukuk lembaga pembiayaan yang dimiliki oleh pemerintah yang perdagangannya diawasi oleh OJK;
  4. investasi keuangan pada bank persepsi termasuk bank syariah;
  5. obligasi atau sukuk perusahaan swasta yang perdagangannya diawasi oleh OJK;
  6. investasi infrastruktur melalui kerja sama pemerintah dengan badan usaha;
  7. investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan oleh pemerintah;
  8. kerja sama dengan lembaga pengelola investasi;
  9. bentuk investasi lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

c. Bantuan atau sumbangan dan harta hibahan

  1. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah; dan
  2. Harta hibahan yang diterima oleh badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan dan koperasi; sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Berkaitan dengan WP Badan, PMK Nomor 245/PMK.03/2008 mengatur bahwa harta hibah, bantuan, atau sumbangan yang diterima oleh:

  • badan keagamaan;
  • badan pendidikan; atau
  • badan sosial termasuk yayasan dan koperasi

dikecualikan sebagai objek PPh. Ketentuan ini hanya berlaku apabila badan-badan tersebut semata-mata bergerak dalam lingkup kegiatannya yang tidak mencari keuntungan dan pihak pemberi hibah, bantuan, atau sumbangan tidak mempunyai hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan dengan penerima hibah, bantuan, atau sumbangan.

d. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:

  • merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan
  • sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

e. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yangmembidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut.

Blue location symbol pin icon sign or navigation locator map travel gps direction pointer and marker place position point design element on route graphic road mark destination background. 3D render.

Cara Mengubah Alamat di Faktur Pajak

PER-3/PJ/2022 Pasal 6 ayat 6 mengatur mengenai penulisan alamat pembeli di Faktur Pajak diisi dengan alamat cabang yang menerima BKP dan/atau JKP apabila NPWP Pusatnya berada di KPP BKM (Wajib Pajak Besar, kantor pelayanan pajak Jakarta Khusus, dan kantor pelayanan pajak madya). Saat ini, jika Wajib Pajak sudah terlanjur membuat Faktur Pajak dengan kolom alamat pembeli diisi menggunakan alamat NPWP Pusat sesuai dengan yang tertera pada SKPPKP, maka Wajib Pajak tersebut perlu melakukan pembetulan/penggantian Faktur Pajak tersebut.

Caranya sebagai berikut:

  1. Klik menu “Pengganti” pada Faktur Pajak yang ingin diganti;
  2. Kemudian muncul notifikasi “Anda yakin ingin mengganti faktur ini?” klik Yes lalu klik SIMPAN;
  3. Klik menu “Ubah” pada Faktur Pajak Pengganti;
  4. Klik “Lanjutkan” hingga menuju menu LAWAN TRANSAKSI;
  5. Ubah kolom “NPWP” menjadi 00.000.000.0-000.000;
  6. Kosongkan kolom “NIK / paspor”;
  7. Ubah kolom “Alamat” sesuai dengan alamat yang sesuai;
  8. Ubah kolom “NPWP” dengan memasukkan NPWP semula;
  9. Klik “Simpan” .

Selamat, alamat pada faktur pajak pengganti sudah berubah. Jadi, Wajib Pajak tidak perlu lagi melakukan pembatalan faktur pajak semula dan tidak perlu menerbitkan faktur pajak baru.

close up.business team considers profit using calculator.accounting

Objek Pajak Badan

Pada prinsipnya Objek Pajak PPh adalah penghasilan itu sendiri, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima oleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Dalam hal ini bagi Wajib Pajak badan Dalam Negeri berlaku prinsip World Wide Income, atau penghasilan yang diakui adalah yang diterima baik dari dalam maupun dari  Luar Negeri.

Secara lebih konkrit, menurut Pasal 4 ayat (1) UU PPh yang menjadi objek pajak bagi WP badan dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1. Dari kegiatan usaha, yakni dalam bentuk:

  • laba usaha;
  • penghasilan dari usaha berbasis syariah;
  • premi asuransi (bagi perusahaan asuransi);
  • bunga, dividen, fee atau passive income lain (bagi bank, perusahaan keuangan atau investasi);
  • surplus Bank Indonesia.

2. Dari kegiatan bukan usaha, misalnya:

a. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:

  • keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
  • keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
  • keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
  • keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
  • keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;

b. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;

c. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;

d. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;

e. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;

f. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

g. keuntungan karena pembebasan utang;

h. keuntungan selisih kurs mata uang asing;

i. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;

j. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;

k. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;

l. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam UU KUP.

Business partners handshake global corporate with technology concept

Hubungan Istimewa Wajib Pajak

Penyebab Timbulnya Hubungan Istimewa

Pasal 18 ayat (4) UU PPh memberikan definisi dalam hal bagaimana suatu hubungan istimewa di antara para Wajib Pajak itu terjadi. Hubungan istimewa di antara para Wajib Pajak dapat terjadi karena adanya hubungan ketergantungan atau keterikatan satu sama lain yang disebabkan karena:

  1. kepemilikan atau penyertaan modal;
  2. adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi;
  3. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan atau kesamping satu derajat.

Ketiga macam hubungan istimewa di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Hubungan Modal

Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir.

Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal  sebesar  25% atau lebih secara langsung ataupun tidak langsung. Misalnya, PT A mempunyai 50% saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung. Selanjutnya apabila PT B tersebut mempunyai 50%  saham PT C, maka PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C sebesar 25%. Dalam hal demikian antara PT A, PT B dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% saham PT D, maka antara PT B, PT C dan PT D dianggap terdapat hubungan istimewa.

Hubungan kepemilikan seperti tersebut di atas dapat juga terjadi antara orang pribadi dan badan.

 

2. Hubungan Penguasaan

Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung. Hubungan istimewa antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi, walaupun tidak terdapat hubungan kepemilikan.

Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama tersebut.

 

3. Hubungan Keluarga

Selain karena hal-hal tersebut di atas, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau karena perkawinan. Hubungan istimewa ini terjadi apabila terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat.

Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah saudara kandung.

Yang dimaksud dengan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah mertua dan anak tiri, sedangkan hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah saudara ipar.

Business and partnership  discussing using calculator to review balance sheet annual with holding pen and using laptop computer to calculating budget. audit integrity before investment concept.

Perhitungan Pajak Kini dan Pajak Tangguhan

Baik Kewajiban Pajak Tangguhan maupun Aset Pajak Tangguhan dapat terjadi dalam hal- hal sebagai berikut:

  1. Apabila Penghasilan sebelum Pajak lebih besar dari Penghasilan Kena Pajak, maka Beban Pajak pun akan lebih besar dari Pajak Terutang, sehingga akan menghasilkan Kewajiban Pajak Tangguhan.
  2. Sebaliknya apabila Penghasilan Sebelum Pajak lebih kecil dari Penghasilan Kena Pajak, maka Beban Pajaknya akan juga lebih kecil dari Pajak Terutang, sehingga akan menghasilkan Aktiva Pajak Tangguhan.

Perbedaan Temporer Perbedaan Temporer x Tarif Hasilnya
PSP > PKP BP > PT Kewajiban Pajak Tangguhan
PSP < PKP BP < PT Aset Pajak Tangguhan

Keterangan :

PSP : Penghasilan Sebelum Pajak

PKP : Penghasilan Kena Pajak

BP : Beban Pajak

PT : Pajak Terutang

 

Contoh Kasus

PT. Tulip memperoleh laba sebelum pajak sebesar Rp5.600.000.000,00 untuk laporan keuangan yang berakhir 31 Desember 2018. Hasil koreksi fiskal diketahui perbedaan permanen koreksi positif sebesar Rp600.000.000,00. Koreksi temporer positif sebesar Rp300.000.000,00 dan koreksi temporer negatif Rp500.000.000,00. Saldo liabilitas pajak tangguhan sebesar Rp900.000.000,00. Pajak penghasilan yang telah dipotong oleh pihak lain adalah:

  1. PPh Pasal 23 sebesar Rp200.000.000,00
  2. PPh Pasal 4(2) sebesar Rp200.000.000,00
  3. Pajak yang telah dipotong di luar negeri sebesar Rp300.000.000,00
  4. PPh Pasal 24 yang boleh dikreditkan atas penghasilan luar negeri sebesar Rp250.000.000,00
  5. PPh Pasal 25 sebesar Rp840.000.000,00
  6. PPh Pasal 22 sebesar Rp60.000.000,00

Tarif pajak yang berlaku 25%. Sehingga perhitungan pajak terutang PT. Tulip adalah sebagai berikut:

Laba sebelum pajak   5.600.000.000
Koreksi positif permanen   600.000.000
Koreksi negatif temporer   (500.000.000)
Koreksi positif temporer   300.000.000
Penghasilan Kena Pajak   6.000.000.000
Pajak terutang(25% x Rp 6.000.000.000)   1.500.000.000
  • Perhitungan PPh Kurang/Lebih Dibayar
    Pajak terutang   1.500.000.000
    Pajak dibayar dimuka (kredit pajak)    
    PPh Pasal 22   60.000.000
    PPh Pasal 23   200.000.000
    PPh Pasal 24   250.000.000
    PPh Pasal 25   840.000.000
    Total kredit pajak   1.350.000.000
    PPh Kurang Dibayar (Kewajiban PPh Psl 29)   150.000.000

 

  • Perhitungan Kewajiban Pajak Tangguhan

Dari ilustrasi di atas diketahui bahwa Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp6.000.000.000 lebih besar dibandingkan dengan laba menurut akuntansi sebesar Rp5.600.000.000, sehingga pengenaan pajak akan mendahului pengakuan menurut akuntansi. Beda temporer net Rp300.000.000 + (Rp500.000.000) = Rp200.000.000 negatif. Pajak tangguhan 25% x Rp200.000.000 = Rp50.000.000. Karena sebelumnya terdapat liabilitas pajak tangguhan, maka beban pajak tangguhan periode sekarang akan menambah saldo liabilitas pajak tangguhan.

Jurnal:

Beban Pajak Tangguhan 50.000.000  
Liabilitas Pajak Tangguhan   50.000.000
  • Beban Pajak Kini

Total beban pajak kini merupakan penjumlahan pajak terutang dalam satu tahun fiscal ditambah pajak atas penghasilan yang dikenakan final dan pajak atas penghasilan dari luar negeri yang tidak boleh dikreditkan.

Total beban pajak kini PT Tulip = Rp1.500.000.000 + Rp200.000.000 + Rp50.000.000 = Rp1.750.000.000

 

  • Penyajian dalam laporan keuangan

Laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif

Laba sebelum pajak     Rp5.600.000.000
Beban pajak      
Beban pajak kini   Rp1.750.000.000  
Beban pajak tangguhan   Rp    50.000.000  
Total beban pajak     Rp1.800.000.000
Laba bersih     Rp3.800.000.000

 

Laporan posisi keuangan

Utang PPh Badan (liabilitas pajak kini) Rp150.000.000
Liabilitas pajak tangguhan Rp950.000.000

 

Finance. Accounting documents on the table

Perhitungan Kembali Pajak Masukan

Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kepastian kepada Pengusaha Kena Pajak.

Pedoman pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak atau dibebaskan diatur dalam PMK Nomor 78/PMK.03/2010 stdtd. PMK Nomor 135/PMK.011/2014.

 

Pajak Masukan untuk Penyerahan yang Terutang Pajak dan yang Tidak Terutang Pajak

Pengusaha Kena Pajak yang:

  1. menghasilkan BKP yang atas penyerahannya termasuk dalam Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak; dan
  2. mengolah dan/atau memanfaatkan lebih lanjut BKP sebagaimana dimaksud pada huruf a., baik melalui unit pengolahan sendiri maupun melalui titip olah dengan menggunakan fasilitas pengolahan PKP lainnya sehingga menjadi BKP yang atas penyerahannya termasuk dalam Penyerahan yang Terutang Pajak,

sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, Pajak Masukan yang sudah dibayar dapat dikreditkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

 

Pedoman Penghitungan Pajak Masukan yang dapat Dikreditkan

Pedoman penghitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan penyerahan yang terutang pajak dan yang tidak terutang pajak adalah sebagai berikut:

P = PM x Z

dimana:

P    = jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;

PM = jumlah Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP;

Z    = persentase yang sebanding dengan jumlah penyerahan yang terutang pajak terhadap penyerahan seluruhnya.

Terhadap Pengusaha Kena Pajak yang telah mengkreditkan Pajak Masukan dengan menggunakan pedoman penghitungan sebagaimana di atas, harus menghitung kembali besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Penghitungan kembali Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dilakukan dengan menggunakan pedoman penghitungan sebagai berikut:

 

Untuk BKP dan JKP yang masa manfaatnya lebih dari 1 (satu) tahun

P’ = PM/T x Z’

dimana:

P’    = jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dalam 1 (satu) tahun buku;

PM = jumlah Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP;

Z’    = persentase yang sebanding dengan jumlah penyerahan yang terutang pajak terhadap seluruh penyerahan dalam 1 (satu) tahun buku;

T     = masa manfaat BKP dan/atau JKP yang ditetapkan sebagai berikut:

  • untuk BKP berupa tanah dan bangunan adalah 10 tahun;
  • untuk BKP selain tanah dan bangunan dan JKP adalah 4 tahun.

 

Untuk BKP dan JKP yang masa manfaatnya 1 (satu) tahun atau kurang

P’ = PM x Z’

dimana:

P’     =  jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dalam 1 (satu) tahun buku;

PM  =  jumlah Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP;

Z’     = persentase yang sebanding dengan jumlah penyerahan yang terutang pajak terhadap seluruh penyerahan dalam 1 (satu) tahun buku.

 

Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dari hasil penghitungan kembali di atas, diperhitungkan dengan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan pada suatu Masa Pajak, paling lama pada bulan ketiga setelah berakhirnya tahun buku.

Penghitungan kembali Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tidak perlu dilakukan dalam hal masa manfaat BKP dan/atau JKP yang lebih dari 1 (satu) tahun telah berakhir.

 

businessman workig and using calculator with laptop on desk

Pedoman Perhitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Kegiatan Usaha Tertentu

Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (7a) UU PPN diatur bahwa besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu dihitung dengan menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan. Hal ini dimaksudkan dalam rangka memberikan kemudahan dalam menghitung PPN yang harus disetor untuk Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu.

 

Kegiatan Usaha Tertentu

Petunjuk pelaksanaan dari ketentuan di atas adalah PMK Nomor 79/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Kegiatan Usaha Tertentu. Dalam PMK ini diatur bahwa Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu, dalam menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, wajib menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan. Yang dimaksud dengan kegiatan usaha tertentu adalah kegiatan usaha yang semata-mata melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran dan pedagang emas. Namun, untuk pembahasan mengenai pedagang emas sudah dicabut dan saat ini memakai PMK Nomor 30/2014.

 

Tata Cara Penghitungan dan Penyetoran PPN

Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan bagi Pengusaha Kena Pajak di atas dihitung menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan, yaitu sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari Pajak Keluaran, dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran. Pajak Keluaran dimaksud, dihitung dengan cara mengalikan tarif 10% dengan Dasar Pengenaan Pajak. Dasar Pengenaan Pajak-nya adalah peredaran usaha.

 

Sedangkan PPN yang wajib disetor pada setiap Masa Pajak dihitung dengan cara besarnya Pajak Keluaran dikurangi dengan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai pedoman, yaitu sebesar sama dengan 1% (satu persen) dari Dasar Pengenaan Pajak bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran.

 

Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan ini tidak dapat membebankan PPN atas perolehan BKP dan/atau JKP sebagai biaya untuk penghitungan Pajak Penghasilan. Apabila terjadi retur, PPN atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang dikembalikan atau diretur oleh pembeli, mengurangi PPN yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak penjual dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian BKP dan/atau JKP, sepanjang Faktur Pajak atas penyerahan BKP dan/atau JKP tersebut telah dilaporkan dalam SPT Masa PPN.

 

Ketentuan Lain-lain 

Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran wajib menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan menurut ketentuan PMK Nomor 79/PMK.03/2010 ini walaupun Pengusaha Kena Pajak tersebut memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (7) UU PPN dan PMK Nomor 74/PMK.03/2010.

 

Sementara itu, untuk pengusaha emas yang melakukan kegiatan usaha penyerahan Emas Perhiasan dan/atau jasa yang terkait dengan Emas Perhiasan, Pajak Masukan yang berhubungan dengan penyerahan tersebut tidak dapat dikreditkan (PMK Nomor 30/PMK.03/2014).

 

PKP yang sesuai kriteria dapat menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan, baik yang berasal dari kelompok dengan batas peredaran usaha ataupun kelompok kegiatan tertentu, akan menggunakan SPT Masa PPN dengan jenis SPT 1111DM. Sedangkan, teknis penerbitan faktur pajak keluaran tetap mengacu kepada ketentuan umum dan menggunakan aplikasi e-faktur.

business man financial inspector and secretary making report, calculating or checking balance. Internal Revenue Service inspector checking document. Audit concept

Liabilitas Pajak Tangguhan

Liabilitas pajak tangguhan adalah jumlah pajak penghasilan terutang pada periode masa depan sebagai akibat adanya perbedaan temporer kena pajak. Perbedaan temporer kena pajak terjadi ketika laba menurut akuntansi lebih besar dibandingkan dengan laba menurut pajak. Pengakuan liabilitas pajak tangguhan dikecualikan atas perbedaan temporer kena pajak yang berasal dari pengakuan awal good will, atau pengakuan awal aset atau liabilitas dari transaksi bukan kombinasi bisnis dan transaksi yang tidak memengaruhi laba akuntansi atau laba kena pajak.

Berikut merupakan contoh perbedaan temporer kena pajak yang menimbulkan liabilitas pajak tangguhan:

  1. Depresiasi menurut akuntansi dengan masa manfaat lebih panjang dibandingkan dengan masa manfaat menurut pajak.
  2. Pengakuan beban yang lebih kecil menurut akuntansi dibandingkan pengakuan beban menurut pajak, akibat perbedaan temporer.

Contoh:

PT. Mawar Merah pada awal Januari 2015 membeli peralatan dengan harga Rp200.000.000,00. Menurut akuntansi aset ini disusutkan 5 tahun tanpa nilai sisa sedangkan menurut pajak disusutkan 4 tahun tanpa nilai sisa. Maka perhitungan perbedaan temporer kena pajak atas peralatan tersebut adalah sebagai berikut (dalam ribuan):

Tahun 2015 2016 2017 2018 2019 Total
Beban depresiasi akuntansi 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 200.000
Beban depresiasi pajak 50.000 50.000 50.000 50.000 200.000
Perbedaan laba akuntansi dan pajak

Laba akuntansi lebih tinggi (rendah)

10.000 10.000 10.000 10.000 (40.000)
             
Liabilitas pajak tangguhan (akhir periode) 2.500 5.000 7.500 10.000
Beban (pendapatan) pajak tangguhan 2.500 2.500 2.500 2.500

Menurut akuntansi, beban depresiasi per tahun Rp40.000.000, sedangkan menurut pajak beban depresiasi sebesar Rp50.000.000. Akibatnya, laba sebelum pajak setiap tahun dari 2015-2018 lebih besar Rp10.000.000 dibandingkan Penghasilan Kena Pajak. Namun pada tahun 2019, laba menurut akuntansi lebih kecil sebesar Rp40.000.000 karena pada tahun tersebut tidak ada depresiasi secara fiskal.

Akibat laba sebelum pajak diakui lebih tinggi maka akan diakui beban pajak. Beban pajak tangguhan diakui sebesar 25% x Rp10.000.000 = Rp2.500.000. Jurnal yang dibuat selama 4 tahun atas perbedaan laba akuntansi dan penghasilan kena pajak adalah sebagai berikut:

Beban pajak tangguhan 2.500.000  
Liabilitas pajak tangguhan   2.500.000

Sebaliknya pada tahun 2019, laba sebelum pajak lebih Rp40.000.000 dibandingkan dengan penghasilan kena pajak. Atas perbedaan tersebut akan diakui pendapatan pajak tangguhan. Pendapatan pajak tangguhan tersebut akan mengurangi beban pajak kini, sehingga pada tahun 2019 total beban pajak akan lebih kecil dibandingkan dengan pajak kini.

Liabilitas pajak tangguhan 2.500.000  
Pendapatan pajak tangguhan   2.500.000

 

Finance. Accounting documents on the table

Aset Pajak Tangguhan

Aset pajak tangguhan adalah jumlah pajak penghasilan yang dapat dipulihkan pada periode masa depan sebagai akibat adanya:

  • Perbedaan temporer yang boleh dikurangkan;
  • Akumulasi rugi pajak belum dikompensasi; dan
  • Akumulasi kredit pajak belum dimanfaatkan, dalam hal peraturan perpajakan mengizinkan.

Aset pajak tangguhan timbul apabila beda waktu yang menyebabkan terjadinya koreksi positif sehingga beban pajak menurut akuntansi lebih kecil daripada beban pajak menurut peraturan perpajakan. Pengakuan aset pajak tangguhan tidak dilakukan atas pengakuan awal aset dan liabilitas atas transaksi kombinasi bisnis dan transaksi yang tidak mempengaruhi laba akuntansi dan laba kena pajak. Contoh beberapa transaksi yang merupakan bentuk perbedaan temporer yang dapat dikurangkan.

  1. Depresiasi dengan masa manfaat yang lebih pendek menurut akuntansi dibandingkan dengan masa manfaat depresiasi menurut pajak.
  2. Pengakuan beban penyisihan piutang yang diakui saat terdapat bukti objektif sedangkan menurut pajak diakui sesuai dengan ketentuan dan biasanya terjadi pada periode setelah pengakuan menurut akuntansi.
  3. Pengakuan beban yang jumlahnya diestimasi atau menurut akuntansi disebut provisi sedangkan menurut pajak beban tersebut akan diakui pada saat beban tersebut telah direalisasikan.
  4. Pengakuan penurunan nilai aset menurut pajak akan diakui saat aset tersebut dijual atau dilepaskan, sedangkan menurut akuntansi diakui saat terdapat indikasi penurunan nilai.
  5. Pengakuan penghasilan lebih besar menurut pajak dibandingkan pengakuan menurut akuntansi akibat perbedaan temporer, contoh pendapatan diterima di muka menurut pajak diakui seluruhnya saat diterima, sedangkan menurut akuntansi diakui secara akrual.
  6. Pengakuan beban provisi garansi secara akrual pada saat terjadi penjualan sedangkan menurut pajak pembebanan dilakukan pada saat garansi diberikan.

Contoh:

PT Anggrek pada 2015 mengakui beban garansi sebesar Rp20.000.000,00. Beban tersebut menurut pajak diakui sebesar Rp4.000.000,00 di tahun 2016, Rp8.000.000,00 di tahun 2017 dan Rp8.000.000,00 di tahun 2018.  Maka perhitungan perbedaan temporer dapat dikurangkan atas beban garansi tersebut seperti tampak pada tabel berikut:

2016

2017 2018

Total

Beban garansi akuntansi

20.000.000

20.000.000

Beban garansi pajak

4.000.000

8.000.0000 8.000.000

20.000.000

Perbedaan laba akuntansi dan pajak

Laba akuntansi lebih tinggi (rendah)

(16.000.000)

8.000.0000 8.000.000

Aset pajak tangguhan (akhir periode)

4.000.000

2.000.000

Beban (pendapatan) pajak tangguhan

(4.000.000)

2.000.000 2.000.000

Liabilitas garansi (akhir periode)

16.000.000

8.000.000

 

 

 

Perbedaan tersebut akan terpulihkan di masa mendatang sehingga menimbulkan perbedaan temporer yang dapat dikurangkan. Perbedaan temporer akan diakui sebagai aset pajak tangguhan sebesar perbedaan atas laba dikalikan dengan tarif pajak pada saat perbedaan tersebut akan terpulihkan. Dalam contoh tersebut tarif pajak yang berlaku adalah 25%. Maka jurnal untuk mencatat aset pajak tangguhan tersebut untuk tahun 2016 adalah sebagai berikut:

Aset pajak tangguhan 4.000.000
Pendapatan pajak tangguhan 4.000.000

Pendapatan pajak tangguhan akan mengurangi beban pajak kini perusahaan. Dengan demikian dampak dari jurnal tersebut adalah total beban pajak akan lebih kecil dibandingkan dengan pajak kini. Pada tahun 2017 atas pembayaran garansi mengakibatkan liabilitas garansi akan berkurang. Akibat transaksi ini aset pajak tangguhan juga akan berkurang karena liabilitasnya telah terselesaikan. Atas berkurangnya perbedaan temporer yang dapat dikurangkan tersebut akan dijurnal seperti berikut:

Beban pajak tangguhan 2.000.000
Aset pajak tangguhan 2.000.000

Saldo aset pajak tangguhan Rp2.000.000 pada akhir tahun 2017 akan terselesaikan pada tahun 2018 dengan pembayaran garansi Rp8.000.000, dengan jurnal:

Beban pajak tangguhan 2.000.000
Aset pajak tangguhan 2.000.000