income-tax-return-deduction-refund-concept

Pengurangan PPN/PPnBM karena Retur BKP atau Pembatalan JKP

Berdasarkan ketentuan Pasal 5A ayat (1) UU PPN, PPN atau PPnBM atas penyerahan BKP yang dikembalikan dapat dikurangkan dari PPN atau PPnBM yang terutang dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian BKP tersebut.

Dalam hal BKP yang diserahkan ternyata dikembalikan (retur) oleh pembeli BKP, PPN dan PPnBM dari BKP yang dikembalikan tersebut mengurangi Pajak Keluaran dan PPnBM yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak penjual dan mengurangi:

  1. Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak pembeli, dalam hal Pajak Masukan atas BKP yang dikembalikan telah dikreditkan;
  2. biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak pembeli, dalam hal pajak atas BKP yang dikembalikan tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau
  3. biaya atau harta bagi pembeli yang bukan Pengusaha Kena Pajak dalam hal pajak atas BKP yang dikembalikan tersebut telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut.

Sedangkan ketentuan Pasal 5A ayat (2) UU PPN menyebutkan bahwa PPN atas penyerahan JKP yang dibatalkan, baik seluruhnya maupun sebagian, dapat dikurangkan dari PPN yang terutang dalam Masa Pajak terjadinya pembatalan tersebut. Yang dimaksud dengan “JKP yang dibatalkan” adalah pembatalan seluruhnya atau sebagian hak atau fasilitas atau kemudahan oleh pihak penerima JKP.

Dalam hal JKP yang diserahkan ternyata dibatalkan, baik sebagian maupun seluruhnya oleh penerima JKP, PPN dari JKP yang dibatalkan tersebut mengurangi Pajak Keluaran yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak pemberi JKP dan mengurangi:

  1. Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak penerima JKP, dalam hal Pajak Masukan atas JKP yang dibatalkan telah dikreditkan;
  2. biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak penerima JKP, dalam hal PPN atas JKP yang dibatalkan tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau
  3. biaya atau harta bagi penerima JKP yang bukan Pengusaha Kena Pajak dalam hal PPN atas JKP yang dibatalkan tersebut telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut.
invoice-bill-paid-payment-financial-account-concept

Faktur Pajak Gabungan

Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh PKP yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP).

Faktur Pajak harus dibuat pada saat:

  1. Penyerahan BKP dan/atau JKP;
  2. Penerimaan pembayaran dalam hal terjadi sebelum penyerahan BKP dan/atau JKP;
  3. Penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan;
  4. Ekspor BKP berwujud, ekspor BKP tidak berwujud, dan/atau ekspor JKP; atau
  5. Saat lain yang diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPN

Selain itu, DJP memberikan kemudahan bagi PKP untuk dapat membuat 1 Faktur Pajak yang dimaksud dengan Faktur Pajak Gabungan. Pajak Gabungan meliputi seluruh penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan kepada Pembeli BKP dan/atau Penerima JKP yang sama selama 1 bulan kalender. Faktur Pajak Gabungan dibuat paling lambat akhir bulan penyerahan BKP dan/atau JKP. Dalam hal terdapat pembayaran sebagian atau selurunya sebelum penyerahan BKP dan/atau JKP yang diterima dalam bulan penyerahan, Faktur Pajak Gabungan tetap dibuat paling lama akhir bulan penyerahan BKP dan/atau JKP.

Contoh:

PT. A melakukan penyerahan BKP kepada PT. B selama bulan April 2022 sebagai berikut:

Tanggal Uraian Harga Jual/Pembayaran
1 Penyerahan BKP kode 01 1.000.000
4 Penerimaan pembayaran DP yang mana barang akan dikirim di bulan Mei 2022 kode 01 2.000.000
10 Penerimaan pelunasan pembayaran yang mana barang akan dikirim pada tanggal 25 April 2022 kode 01 5.000.000
25 Penyerahan BKP atas penerimaan pelunasan tanggal 10 April 2022 kode 01 5.000.000
30 Penyerahan BKP kode 01

3.500.000

PT. A dapat memilih membuat 1 Faktur Pajak Gabungan pada tanggal 30 April 2022 yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan dan pembayaran uang mula/pelunasan dimuka yang diterima pada bulan April 2022 yaitu dengan DPP (Dasar Pengenaan Pajak) sebesar Rp 11.500.000 yang terdiri dari:

Tanggal Harga Jual/Pembayaran
1 1.000.000
4 2.000.000
10 5.000.000
30 3.500.000

Didalam PER-3/PJ/2022 yang berlaku mulai 1 April 2022, PKP dapat membuat Faktur Pajak Gabungan menggunakan lebih dari 1 kode. Jadi Faktur Pajak Gabungan dibuat atas penyerahan dengan kode transaksi yang sama untuk tiap-tiap kode transaksi yang dimaksud.

Namun Faktur Pajak Gabungan tidak dapat dibuat atas penyerahan BKP dan/atau JKP ke dan/atau dari Kawasan tertentu atau tempat tertentu yang mendapat fasilitas PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut.

Contoh:

PT. B melakukan penyerahan ke CV. C sebagai berikut:

Tanggal Uraian Harga Jual/Pembayaran
1 Penjualan kerupuk 8.000.000
4 Penjualan sambal 1.000.000
10 Pemberian cuma-cuma sambal 100.000
14 Penjualan sambal 2.500.000
21 Pemberian cuma-cuma sambal 50.000
25 Penjualan kerupuk 5.000.000
30 Pemberian cuma-cuma sambal 150.000

PT. B wajib membuat Faktur Pajak menggunakan kode transaksi 01 untuk penjualan kerupuk dan sambal dan kode transaksi 04 untuk pemberian cuma-cuma sambal. Apabila PT. B memilih untuk menggunakan Faktur Pajak Gabungan maka PT.B wajib membuat:

  • 1 Faktur Pajak Gabungan dengan kode transaksi 01 untuk transaksi
Tanggal Uraian Harga Jual/Pembayaran
1 Penjualan kerupuk 8.000.000
4 Penjualan sambal 1.000.000
14 Penjualan sambal 2.500.000
25 Penjualan kerupuk 5.000.000
  • 1 Faktur Pajak Gabungan dengan kode transaksi 04 untuk transaksi
Tanggal Uraian Harga Jual/Pembayaran
10 Pemberian cuma-cuma sambal 100.000
21 Pemberian cuma-cuma sambal 50.000
30 Pemberian cuma-cuma sambal 150.000
closeup-business-man-checking-tax-invoice-paper

Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak

Dalam hal terjadi pembatalan transaksi penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP yang Faktur Pajak-nya telah diterbitkan, maka Faktur Pajak tersebut harus dibatalkan.  Berikut 7 hal yang perlu diperhatikan:

  1. Pembatalan transaksi harus didukung oleh bukti atau dokumen yang membuktikan bahwa telah terjadi pembatalan transaksi. Bukti dapat berupa pembatalan kontrak atau dokumen lain yang menunjukkan telah terjadi pembatalan transaksi.
  2. Faktur Pajak yang dibatalkan harus tetap diadministrasi (disimpan) oleh PKP Penjual yang menerbitkan Faktur Pajak tersebut.
  3. PKP Penjual yang membatalkan Faktur Pajak harus mengirimkan surat pemberitahuan dan copy dari Faktur Pajak yang dibatalkan ke KPP tempat PKP Penjual dikukuhkan dan ke KPP tempat PKP Pembeli dikukuhkan.
  4. Dalam hal PKP Penjual belum melaporkan Faktur Pajak yang dibatalkan di dalam SPT Masa PPN, maka PKP penjual harus tetap melaporkan Faktur Pajak tersebut dalam SPT Masa PPN dengan mencantumkan nilai 0 (nol) pada kolom DPP, PPN atau PPN dan PPnBM.
  5. Dalam hal PKP Penjual telah melaporkan Faktur Pajak tersebut dalam SPT Masa PPN sebagai Faktur Pajak Keluaran, maka PKP penjual harus melakukan pembetulan SPT Masa PPN Masa Pajak yang bersangkutan, dengan cara melaporkan Faktur Pajak yang dibatalkan tersebut dengan mencantumkan nilai 0 (nol) pada kolom DPP, PPN atau PPN dan PPnBM.
  6. Dalam hal PKP Pembeli telah melaporkan Faktur Pajak tersebut dalam SPT Masa PPN sebagai Faktur Pajak Masukan, maka PKP Pembeli harus melakukan pembetulan SPT Masa PPN Masa Pajak yang bersangkutan, dengan cara melaporkan Faktur Pajak yang dibatalkan tersebut dengan mencantumkan nilai 0 (nol) pada kolom DPP, PPN atau PPN dan PPnBM.
  7. Pembatalan faktur pajak dilakukan oleh pihak penerbit faktur namun saat faktur pajak telah dikreditkan oleh konsumen maka pembatalan harus dengan menunggu konfirmasi persetujuan dari konsumen, semua teknis pembatalan dilakukan menggunakan aplikasi e-faktur, dan NSFP atas faktur yang dibatalkan tidak dapat digunakan kembali.
fresh-fruit-stalls-san-miguel-market

Fasilitas Pembebasan PPN dan Yang Tidak Dikenakan PPN Sehubungan dengan Penyesuaian Tarif PPN 11%

Sehubungan dengan penyesuaian tarif PPN dari 10% menjadi 11% yang mulai berlaku tanggal 1 April 2022, atas barang dan jasa tertentu yang tetap diberikan fasilitas bebas PPN adalah:

  1. barang kebutuhan pokok: beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, dan gula konsumsi;
  2. jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa sosial, jasa asuransi, jasa keuangan, jasa angkutan umum, dan jasa tenaga kerja;
  3. vaksin, buku pelajaran dan kitab suci;
  4. air bersih (termasuk biaya sambung/pasang dan biaya beban tetap);
  5. listrik (kecuali untuk rumah tangga dengan daya >6600 VA);
  6. rusun sederhana, rusunami, RS, dan RSS;
  7. jasa konstruksi untuk rumah ibadah dan jasa konstruksi untuk bencana nasional;
  8. mesin, hasil kelautan perikanan, ternak, bibit/benih, pakan ternak, pakan ikan, bahan pakan, jangat dan kulit mentah, bahan baku kerajinan perak;
  9. minyak bumi, gas bumi (gas melalui pipa, LNG dan CNG) dan panas bumi;
  10. emas batangan dan emas granula;
  11. senjata/alutsista dan alat foto udara.

Selain itu, barang tertentu dan jasa tertentu yang tetap tidak dikenakan PPN adalah:

  1. barang yang merupakan objek Pajak Daerah: makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya;
  2. jasa yang merupakan objek Pajak Daerah: jasa penyediaan tempat parkir, jasa kesenian dan hiburan, jasa perhotelan, dan jasa boga atau catering;
  3. uang, emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara, dan surat berharga;
  4. jasa keagamaan dan jasa yang disediakan oleh pemerintah.
business-people-shaking-hands-together

Syarat Daftar Perseroan Perorangan

Melalui terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja No 11 tahun 2020, Pemerintah mendukung untuk orang pribadi membentuk badan usaha hanya dengan 1 orang melalui Perseroan Perorangan (PT Perorangan) sesuai Pasal 153A.

Untuk bisa mendirikan PT Perorangan, berikut ini syarat yang harus dipenuhi:

  1. Harus memenuhi kriteria UMK
  2. Hanya 1 Pemegang Saham
  3. Pendiri merupakan Warga Negara Indonesia
  4. Pendiri berusia minimal 17 tahun
  5. Pendiri cakap hukum
  6. Hanya dapat mendirikan 1x PT Perorangan dalam 1 tahun.

Jika memenuhi syarat tersebut selanjutnya dokumen yang perlu dipersiapkan untuk mendaftarkan PT Perorangan kepada Menkumham agar mendapatkan sertifikat pendaftaran secara elektronik adalah:

  1. FC E-KTP Pendiri
  2. NPWP Pendiri
  3. Surat domisili PT yang dikeluarkan oleh RT atau RW setempat
  4. Sertifikat Pendirian PT Perorangan
  5. Laporan Keuangan
  6. NPWP & SKT
  7. NIB (Izin Usaha)
  8. Tanpa Akta Notaris hanya Mengisi form Pernyataan Pendirian yang berisi:
    • Nama dan tempat kedudukan PT
    • Jangka waktu berdirinya PT
    • Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha PT
    • Jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor
    • Nilai nominal dan jumlah saham
    • Alamat PT
    • Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, NIK, dan NPWP dari pendiri, direktur dan pemegang saham PT.

Kelebihan layanan PT Perorangan antara lain:

  1. Pendirian perseroan yang cukup mudah, yakni hanya dengan mengisi form pernyataan pendirian secara elektronik
  2. tidak memerlukan akta notaris
  3. bebas menentukan besaran modal usaha
  4. dibebaskan dari kewajiban untuk mengumumkan dalam Tambahan Berita Negara sebagai bentuk penyederhanaan birokrasi
  5. bersifat one-tier dimana pemilik akan menjalankan operasional perseroan sekaligus melakukan pengawasan tarif pajak yang rendah (dalam hal ini disamakan dengan tarif pajak untuk UMKM).

Perseroan perorangan harus mengubah statusnya dari perorangan jika:

  1. Pemegang saham menjadi lebih dari 1 orang
  2. Tidak memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil sebagaimana diataur dalam ketentuan perundang-undangan mengenai usaha mikro dan kecil.
  3. Perubahan status tersebut dapat dilakukan dengan membuat akta perubahan melalui akta notaris dan didaftarkan secara elektronik kepada Menteri.

Pembubaran Perseroan perorangan ditetapkan dengan keputusan pemegang saham Perseroan perorangan yang mempunyai kekuatan hukum sama dengan rapat umum pemegang saham yang dituangkan dalam Pernyataan Pembubaran dan diberitahukan secara elektronik kepada Menteri.

Adapun format isian pernyataan pembubaran Perseroan perseroangan adalah sebagai berikut :

  1. Nama, tempat kedudukan dan alamat lengkap Perseroan perorangan;
  2. Jangka waktu berakhirnya Perseroan perorangan;
  3. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan perorangan;
  4. Jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor;
  5. Nilai nominal dan jumlah saham;
  6. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, nomor induk kependudukan, dan nomor pokok wajib pajak dari pendiri sekaligus direktur dan pemegang saham Perseroan perorangan.

Perseroan perorangan dapat dibubarkan karena hal-hal dibawah ini:

  1. Berdasarkan keputusan Perseroan perorangan kekuatan hukum sama pemegang saham;
  2. Jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam Pernyataan Pendirian atau perubahannya telah berakhir;
  3. Berdasarkan penetapan pengadilan;
  4. Dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan perorangan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
  5. Harta pailit Perseroan perorangan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam unclangundang mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang; atau
  6. Dicabutnya perizinan berusaha Perseroan perorangan sehingga mewajibkan Perseroan perorangan rnelakukan likuidasi dengan mengisi Pernyataan Pembubaran.
woman-doing-accounting

Pengurangan PPN/PPnBM dengan Nota Retur atau Nota Pembatalan

Ketentuan mengenai tata cara pengurangan PPN atau PPnBM karena BKP yang diretur dan pengurangan PPN karena JKP yang dibatalkan akan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. PMK yang dimaksud adalah PMK Nomor 65/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pengurangan PPN/PPnBM atas BKP yang dikembalikan dan PPN atas JKP yang  Dibatalkan.

Lebih lanjut PMK Nomor 65/PMK.03/2010 mengatur bahwa pengembalian BKP dianggap tidak terjadi dalam hal BKP yang dikembalikan diganti dengan BKP yang sama, baik dalam jumlah fisik, jenis maupun harganya.

Dalam hal terjadi pengembalian BKP/pembatalan penyerahan JKP, Pembeli/Penerima Jasa harus membuat dan menyampaikan nota retur/nota pembatalan kepada Pengusaha Kena Pajak Penjual/Pemberi JKP. Nota retur/nota pembatalan paling sedikit harus mencantumkan:

  • nomor urut nota retur/nota pembatalan;
  • nomor, kode seri, dan tanggal Faktur Pajak dari BKP yang dikembalikan/JKP yang dibatalkan;
  • nama, alamat, dan NPWP Pembeli/Penerima Jasa;
  • nama, alamat, NPWP Pengusaha Kena Pajak Penjual/Pemberi JKP;
  • jenis barang dan jumlah harga jual BKP yang dikembalikan, atau jenis jasa dan jumlah penggantian JKP yang dibatalkan;
  • PPN atas BKP yang dikembalikan/JKP yang dibatalkan, atau PPnBM atas BKP yang tergolong mewah yang dikembalikan;
  • tanggal pembuatan nota retur/nota pembatalan; dan
  • nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani nota retur/nota pembatalan.

Nota retur/nota pembatalan tersebut harus dibuat pada saat BKP dikembalikan/JKP dibatalkan. Mengenai bentuk dan ukuran nota retur/nota pembatalan, dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan administrasi Pembeli/Penerima Jasa. Nota retur/nota pembatalan dibuat paling sedikit dalam rangkap 2 (dua) yaitu:

  1. lembar ke-1: untuk Pengusaha Kena Pajak Penjual/Pemberi JKP;
  2. lembar ke-2: untuk arsip Pembeli/Penerima Jasa.

Dalam hal Pembeli/Penerima Jasa bukan Pengusaha Kena Pajak, nota retur/nota pembatalan  dibuat paling sedikit dalam rangkap 3 (tiga), dan lembar ke-3 harus disampaikan ke KPP tempat Pembeli/Penerima Jasa terdaftar. Pengembalian BKP/pembatalan JKP dianggap tidak terjadi dalam hal:

  • nota retur/nota pembatalan tidak selengkapnya mencantumkan keterangan yang dipersyaratkan;
  • nota retur/nota pembatalan tidak dibuat pada saat BKP tersebut dikembalikan/JKP dibatalkan; atau
  • nota retur/nota pembatalan tidak disampaikan ke KPP dalam hal Pembeli/Penerima Jasa bukan Pengusaha Kena Pajak.

Pengurangan Pajak Keluaran atau PPnBM oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual dan/atau Pengusaha Kena Pajak Pemberi Jasa Kena Pajak dilakukan dalam Masa Pajak saat terjadinya Pengembalian BKP atau Pembatalan JKP. Sementara, pengurangan Pajak Masukan, pengurangan harta, atau pengurangan biaya, oleh Pembeli/Penerima Jasa dilakukan dalam Masa Pajak saat terjadinya pengembalian BKP atau Pembatalan JKP.

Teknis pembuatan Nota Retur dilakukan oleh pihak konsumen menggunakan aplikasi e-faktur. Dalam SPT Masa PPN pihak konsumen akan mencatat retur tersebut sebagai retur pajak masukan. Selanjutnya Nota Retur diberikan kepada pihak penerbit faktur yang diretur atau penjual. Dalam SPT Masa PPN pihak penjual akan mencatat retur tersebut sebagai retur pajak keluaran. Dalam hal konsumen bukan berstatus sebagai PKP maka Nota Retur dibuat secara manual.

closeup-shot-person-holding-gavel-tabl

Kedudukan Hukum Pajak

Kewenangan pemungutan pajak berada pada Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 23A Undang-undang Dasar 1945 (pengenaan dan pemungutan pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang). Atas dasar undang-undang dimaksudkan bahwa pajak merupakan peralihan kekayaan dari masyarakat ke pemerintah, untuk membiayai pengeluaran negara dengan tidak mendapatkan kontraprestasi secara langsung. Oleh karena itu, segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat sebagai contoh pajak harus ditetapkan dengan undang-undang yang telah mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Keseluruhan peraturan yang meliputi kewenangan pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkan kembali kepada masyarakat melalui kas negara termasuk dalam ruang lingkup hukum pajak. Mengingat peraturan ini menyangkut hubungan antara negara dengan orang pribadi atau badan yang mempunyai kewajiban membayar pajak, maka hukum pajak merupakan bagian hukum publik.

Hubungan hukum pajak dengan hukum pidana dapat dilihat dari adanya sanksi pidana atas kealpaan dan kesengajaan terhadap Wajib Pajak yang melanggar ketentuan perpajakan. Hukum pajak mempunyai ruang lingkup yang luas, tidak hanya menelaah keadaan-keadaan dalam masyarakat yang dihubungkan dengan pengenaan pajak dan merumuskan serta menafsirkan peraturan hukum dengan memperhatikan keadaan ekonomi dan keadaan masyarakat, hukum pajak juga memuat unsur hukum pidana dan peradilan seperti yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Sedangkan hubungan pajak dengan hukum perdata adalah bahwa hukum pajak mencari dasar kemungkinan atas kejadian-kejadian , keadaan, keadaan, dan perbuatan-perbuatan hukum yang bergerak dalam lingkungan perdata, seperti penghasilan, kekayaan, perjanjian penyerahan hak, dan sebagainya.

gavel-with-books-old-wooden-desk

Penafsiran dalam Hukum Pajak

Atas peraturan yang tidak dapat dimengerti secara jelas atau kurang jelas perlu cara atau upaya penafsiran (interpretasi) untuk memahaminya. Apabila suatu peraturan menimbulkan berbagai penafsiran menurut pembacanya, maka yang berwenang memutuskan penafsirannya adalah hakim, yaitu dalam hal terjadi sengketa yang diajukan ke pengadilan. Tentu saja peraturan hakim hanya mengikat pihak yang bersengketa saja (sesuai hukum perdata) dan hakim tidak mengikat umum.

Penafsiran (interpretasi) yang sering digunakan dalam lapangan hukum perdata untuk memahami peraturan, juga dapat digunakan dalam lapangan hukum publik, termasuk di dalamnya hukum pajak.

Penafsiran Historis

Penafsiran historis adalah penafsiran undang-undang dengan melihat sejarah dibuatnya undang-undang tersebut. Penafsiran ini dapat diketahui dari dokumen pada waktu proses dibuatnya undang-undang. Misalnya dokumen rapat tim penyusun, dokumen rapat pembahasan antara pemerintah dengan DPR dan dokumen surat-surat lainnya yang dibuat secara resmi. Dengan penafsiran historis dapat diketahui maksud penyusun suatu undang-undang.

Penafsiran Sosiologis

Penafsiran sosiologis adalah penafsiran atas ketentuan undang-undang yang disesuaikan dengan kehidupan masyarakat yang selalu berkembang. Karena itu perlu penyesuaian antara undang-undang dengan perkembangan kehidupan masyarakat.

Penafsiran Sistematik

Penafsiran sistematik adalah penafsiran ketentuan dengan mengaitkannya dengan ketentuan (pasal-pasal) lain dalam undang-undang tersebut atau dari undang-undang lainnya. Ketentuan yang tidak jelas dapat diketahui dengan melihat/mengaitkan dengan pasal lainnya.

Penafsiran Otentik

Penafsiran otentik adalah penafsiran ketentuan dalam undang-undang dengan melihat yang telah dijelaskan dalam undang-undang. Dalam suatu undang-undang, biasanya terdapat pasal mengenai ketentuan umum, sering disebut terminologi, untuk menjelaskan hal-hal yang dianggap perlu. Terminologi merupakan penafsiran otentik. Penjelasan suatu pasal yang dimuat dalam tambahan lembaran negara bukanlah merupakan penafsiran otentik.

Penafsiran Tata Bahasa

Penafsiran Tata Bahasa adalah penafsiran ketentuan dalam undang-undang berdasarkan bunyi kata-kata secara keseluruhan dalam kalimat-kalimat yang disusun. Penafsiran menurut tata bahasa merupakan penafsiran yang paling penting, sebab apabila kata-kata dalam kalimat suatu pasal telah jelas maksudnya, maka tidak boleh lagi dipergunakan cara penafsiran lainnya.

Penafsiran Analogis

Penafsiran analogis adalah penafsiran ketentuan dengan cara memberi kiasan pada kata-kata yang tercantum dalam undang-undang, sehingga suatu peristiwa yang sesungguhnya tidak termasuk dalam ketentuan menjadi termasuk berdasarkan analog yang dibuat. Contoh penafsiran analogis: kata “penjualan” menjadi “pemindahan ke tangan lain” (dari peraturan yang ada ditarik ke peraturan yang bersifat umum), yang selanjutnya disimpulkan juga termasuk hibah, pemasukan harta (inbreng) dan wasiat. (R. Santoso Brotodiharjo S. H. dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak). Penafsiran ini dalam hukum pajak tidak diperbolehkan karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Penafsiran A Contrario

Penafsiran A Contrario adalah penafsiran ketentuan undang-undang didasarkan pada perlawanan pengertian diantara masalah yang dihadapi dan masalah yang diatur dalam undang-undang. Diambil suatu kesimpulan bahwa atas masalah yang dihadapi yang tidak diatur dalam undang-undangnya berada di luar ketentuan. Penafsiran ini dalam hukum pajak juga tidak diperbolehkan karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

multiracial-group-young-creative-people-smart-casual-wear-discussing-business-brainstorming-meeting-ideas-mobile-application-software-design-project-modern-office

INSENTIF PAJAK UNTUK PT PERORANGAN

Sesuai dengan definisi Perseroan Perorangan (PT Perorangan) yaitu badan hukum perorangan yang memenuhi kriteria UMKM, pemerintah dalam hal ini Dirjen Pajak sangat mendukung para UMKM Indonesia melalui penyederhanaan aturan perpajakan agar UMKM dapat berperan lebih demi kelancaran dan stabilitas perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, di tahun 2018, Dirjen Pajak menerbitkan PP 23 Tahun 2018 dan PMK 99/PMK.03/2018 sebagai aturan pelaksanaannya.

PT Perorangan yang memiliki omset atau penghasilan bruto setahun kurang dari 4,8M hanya dikenakan pajak final 0,5% dari penghasilan bruto tiap bulannya. WP PT Perorangan cukup meyetorkan saja pajak 0,5% tiap bulan ke negara melalui bank persepsi. WP PT Perorangan tersebut dapat menikmati fasilitas tarif 0,5% selama 3 tahun sejak terdaftar. Misal PT Perorangan berdiri di tahun 2021 maka fasilitas pajak 0,5% dapat dinikmati hingga tahun 2023. Karena PP 23 merupakan pajak final, nantinya ketika akhir tahun atas laba yang ada tidak perlu lagi dikenakan pajak berdasar tarif Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Ditahun ke-4 karena PT Perorangan tidak dapat lagi menikmati tarif 0,5%, jangan khawatir Dirjen Pajak memberikan keringanan tarif PPh Badan Pasal 17 sebesar 50%. Atas laba akhir tahun dikenakan PPh Terutang sebesar 50% x 22% (tarif Pasal 17 UU PPh). Penyetoran pajak tiap bulannya dari PPh final PP 23 0,5% beralih menjadi Angsuran PPh Pasal 25, yang mana nilainya didapat dari PPh Terutang atas laba akhir tahun dikurangi dengan kredit pajak lalu dibagi 12. Angsuran PPh Pasal 25 yang dibayar nantinya dapat mengurangi jumlah pajak akhir tahun yang harus disetor ke negara.

WP PT Perorangan karena omsetnya dalam setahun kurang dari 4,8M dapat memilih untuk tidak dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) sehingga tidak berkewajiban untuk memungut dan menyetorkan PPN serta tidak wajib membuat Faktur Pajak dan melaporkan SPT PPN. Hal ini sejalan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013.

Kemudahan lainnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 54/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Melakukan Pencatatan dan Kriteria Tertentu Serta Tata Cara Menyelenggarakan Pembukuan untuk Tujuan Perpajakan.

asian-woman-working-through-paperwork

Penagihan Pajak

Untuk mengantisipasi kemungkinan Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya dengan tidak sukarela, undang – undang perpajakan memasukkan aturan – aturan tentang tindakan – tindakan yang dapat diambil fiskus bilamana diperlukan untuk memaksa Wajib Pajak tersebut.

Aturan – aturan tentang tindakan – tindakan untuk memaksa Wajib Pajak tersebut pertama sekali ditujukan kepada pemenuhan kewajiban utamanya yaitu pembayaran pajaknya. Untuk menjamin pemasukan uang pajak ke kas negara, maka diadakanlah paksaan yang bersifat langsung, yaitu dengan penyitaan dan pelelangan barang – barang orang yang berutang pajak (eksekusi).

Sebelum eksekusi dapat dilaksanakan, pada umumnya harus diselenggarakan cara – cara penagihan lainnya terlebih dahulu yang bersifat pasif seperti:

  • dengan cara memberi peringatan;
  • setelah itu memberi teguran;
  • disusul dengan aturan pencicilan pembayaran.

Setelah cara – cara di atas telah ditempuh, fiskus melakukan tindakan aktif dengan mengeluarkan surat paksa. Pelaksanaan penagihan pajak dengan surat paksa ini adalah suatu bentuk eksekusi tanpa peraturan hukum (yang menjadi wewenang fiskus) yang lazimnya dinamakan eksekusi langsung.

Surat Paksa adalah surat keputusan yang mempunyai kekuatan yang sama dengan keputusan hakim dalam perkara perdata yang tidak dapat diganggu gugat lagi dengan cara memintakan banding kepada hakim yang lebih atas. Surat Paksa harus menggunakan kepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” karena perkataan – perkataan itulah surat paksa mendapat kekuatan “eksekutorial” (kekuatan untuk dijalankan), dan kekuatan itu didapatkannya karena keadilanlah yang semata – mata memerintahkan pelaksanaan itu.

Tindak lanjut eksekusi langsung pada pokoknya terdiri dari dua perbuatan hukum, yaitu:

  • penyitaan;
  • penyanderaan.

Penyanderaan ini merupakan paksaan yang bersifat tidak langsung dan merupakan tindakan terakhir yang hanya akan ditempuh jika telah tidak ada jalan lagi, serta hanya dilakukan jika penanggung pajak tidak mempunyai itikad baik untuk memenuhi kewajiban pajaknya.